"Dari aspek ketersediaan bahan baku, baterai LFP yang terdiri dari unsur litium dan fosfat, keduanya tidak ada di Indonesia. Baterai LFP lebih banyak dikembangkan di China karena China memiliki keterbatasan sumber daya nikel dan kobalt, tetapi kaya akan litium." ujar dia.
Selain itu, kata dia, baterai EV yang berbasis LFP dan NMC juga memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. "Baterai LFP secara harga lebih murah dari NMC, tetapi dari aspek density energy lebih rendah, sehingga dampaknya berat kendaraan yang menggunakan baterai LFP akan lebih besar."
Dengan volume baterai yang sama, baterai LFP memiliki jarak tempuh yang lebih rendah dibandingkan baterai NCM. Maka dari itu, kata dia, dalam penggunaannya, baterai LFP lebih cocok apabila digunakan pada kendaraan berat seperti bus dan truk.
Sementara itu, baterai NCM lebih banyak dipakai untuk Kendaraan Listrik Berbasis Baterai Roda 2 (KBLBB R2) dengan jarak tempuh >50 km dan Kendaraan Listrik Berbasis Baterai Roda 4 (KBLBB R4) dengan performa tinggi.
Sebelumnya, perbandingan antara baterai kendaraan listrik berbasis LFP dan berbasis nikel tengah menjadi perbincangan di Tanah Air.
Istilah LFP menjadi buah bibir setelah disinggung-singgung oleh calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, dalam debat keempat Pilpres 2024 akhir pekan lalu.
Pada debat tersebut, putra sulung Presiden Joko Widodo itu tetiba menanyakan pendapat cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, soal LFP.
Dia juga bertanya apakah pasangan calon (paslon) 1 ‘antinikel’, dalam konteks upaya pemerintah menghilirkan pertambangaan nikel untuk mengembangkan ekosistem industri baterai kendaraan listrik.
Cak Imin pun membalas bahwa pihaknya tidak antinikel, tetapi mendesak agar pertambangan nikel harus dilakukan dengan lebih beretika dan membawa dampak ekonomi dan lingkungan yang adil kepada masyarakat.
IBC sendiri merupakan perusahaan BUMN yang bergerak di ekosistem battery electric vehicle (BEV) dan electric vehicle (EV).
Kehadiran perusahaan itu tak lain sejalan dengan ambisi Indonesia untuk merespons tren global dalam pengembangan kendaraan EV di Tanah Air, sekaligus bisa menjadi pemain utama dunia yang mengatur rantai pasok baterai EV global.
Direktur Utama Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho menyebut 60% bahan baku baterai EV di dunia berasal dari Indonesia, yang mayoritas ditopang oleh cadangan milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam, sebagai salah satu pemegang sahamnya.
"Ini [nikel] kita diolah, dibawa ke China, diolah di China, dikirim ke Amerika, ke Jerman, dan lain-lain menjadi baterai EV. Namun, sumbernya ada di Indonesia,” ujarnya Desember 2023 lalu.
Pemerintah sendiri telah menyusun peta jalan untuk menjadikan RI sebagai raksasa baterai kendaraan listrik dunia, yang mencakup pembangunan industri dan ekosistem baterai EV di Tanah Air melalui tahapan strategis sampai dengan 2034.
Toto mengutarakan, secara kumulatif, Indonesia memiliki potensi pengembangan industri baterai dengan kapasitas mencapai 60 GWh atau setara dengan daya untuk 400.000—600.000 kendaraan listrik roda empat dan 3—4 juta unit roda dua.
Tahun ini, perusahaan juga telah menjajaki kerja sama dengan LG Energy Solution Ltd untuk mendirikan pabrik katoda baterai EV di dalam negeri.
Pabrik tersebut, kata Toto, rencananya dibangun di Kawasan Industri Terpadu Batang, Jawa Tengah dengan perkiraan suntikan modal senilai US$600 juta—US$800 juta atau serentang Rp9,37 triliun—Rp12,50 triliun.
Selain rencana pabrik katoda di Batang, LGES telah menginjeksi investasi US$9,8 miliar atau sekitar Rp153,17 triliun untuk pabrik baterai di Karawang, Jawa Barat. Fasilitas ini dipastikan mulai beroperasi pada Februari 2024.
(ibn/wdh)