Menurut dia, sentimen negatif di pasar keuangan tersebut muncul dari investor yang mempercayai kinerja Menteri Keuangan saat ini. Jadi, dalam jangka pendek, absennya Sri Mulyani di Kabinet Indonesia Maju akan berdampak terhadap periode ketidakpastian kebijakan yang bisa diambil oleh Kementerian Keuangan.
Sementara itu, dalam jangka menengah hingga jangka panjang, lanjut Yusuf, sentimen di pasar keuangan akan bergantung pada sosok yang akan menggantikan atau mengisi posisi lowong Bendahara Negara.
"Sekali lagi, kalau kita bicara konteks jangka menengah hingga panjang, itu akan tergantung dari siapa yang akan menggantikan dan bagaimana track record (rekam jejak) dari menggantikan posisi Menteri Keuangan saat ini," papar Yusuf.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan tentu akan ada sentimen negatif di pasar keuangan dan ekonomi nasional jika ada seorang Menteri Keuangan yang mundur dari jabatannya. Pasalnya, akan muncul banyak spekulasi di menjelang pemilihan umum (Pemilu). Namun, dia enggan menjelaskan lebih rinci, risiko yang akan muncul jika Sri Mulyani mundur dari jabatannya.
"Sentimen negatifnya sih yang pasti kalau sampai mundur, karena akan muncul banyak spekulasi di tengah perhelatan politik saat ini," kata David.
Sebelumnya, Faisal Basri mengatakan seruan kepada Sri Mulyani untuk mundur dari jabatannya lantaran kondisi utang Indonesia yang terus meningkat. Faisal menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi_ berpihak pada pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada Pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
“Katanya nunggu momentum (Sri Mulyani mundur), mudah-mudahan momentum ini Inshaallah jadi pemicu yang dahsyat, seperti waktu Pak Ginanjar dan 12 menteri lainnya mundur jaman Pak Harto, karena ini secara moral sudah rontok,” lanjutnya.
Dia juga menilai jika nantinya Prabowo-Gibran terpilih dan melanjutkan kebijakan pemerintahan Jokowi, maka utang Indonesia bisa terus naik hingga mencapai Rp16.000 triliun.
“Teman-teman bisa bayangkan ga kalau kebjakan Jokowi dilanjutkan sama Prabowo-Gibran, bisa Rp16 kuadriliun (dalam) 5 tahun ini (utang Indonesia), karena nggak mau kerja keras,” ucapnya.
Dalam hal tersebut, Faisal menilai bahwa pemerintah saat ini mewariskan beban utang yang begitu banyak kepada generasi selanjutnya. Hal tersebut yang menurutnya seperti dilupakan oleh Jokowi saat ini.
“Utang yang bayar bukan mereka, karena utangnya 30 tahun 20 tahun 10 tahun yang paling banyak itu. adik-adik kita, anak-anak kita. Jadi nyata-nyata yang dilupakan itu rezim Jokowi ini mewariskan beban yang amat berat buat generasi muda,” katanya.
“Oleh karena itu anda jangan diam, terutama gen z ini. Karena ulah generasi sekarang yang akan dibebankan kepada gen z ini,” lanjut Faisal.
(lav/hps)