Pada 2013, harga nikel tercatat berada di rata-rata US$15.031 per metrik ton (mt). Kemudian, pada 2014, harga rerata nikel naik ke US$16.893/mt.
Setelah mengalami kenaikan, sepanjang 2015 hingga 2020, harga komoditas ini tercatat mengalami penurunan secara beruntun. Harga rerata pada 2015 tercatat di US$11.862/mt atau anjlok sangat signifikan dari tahun sebelumnya.
Kemudian, pada 2016 kembali anjlok ke US$9.595/mt, sebelum akhirnya merangkak naik kembali pada 2017 ke level US$10.409/mt, 2018 di US$13.114/mt, 2019 di US$13.913/mt, dan 2020 di US$13.787/mt.
Booming Baterai EV
Pada 2021, pergerekan harga nikel kembali merangkak naik hingga mencapai rekor tertinggi dalam 8 tahun. Saat itu, harga rerata nikel tercatat berada di US$18.465/mt atau naik 9,3% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pada saat itu, kenaikan harga nikel ditopang oleh sentimen positif adanya perkembangan mobil listrik, sejalan dengan tren transisi energi. Di lain sisi, Indonesia selaku produsen utama mulai ketat memberlakukan larangan ekspor bijih nikel mentah.
Walhasail, lembaga keuangaan global seperti Goldman Sach pun memprediksi kenaikan harga nikel hingga 2 tahun setelahnya, dengan asumsi tren penjualan mobil listrik akan terus meningkat. Terlebih, nikel merupakan salah satu komoditas yang paling penting dalam pembuautan baterai EV.
Kenaikan harga nikel memang terus berlanjut hingga pengujung 2022 yang tercatat mencapai US$25.834/mt, atau meroket 38,55% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan itu salah satunya merupakan imbas dari konflik geopolotik global antar Rusia dan Ukraina.
Pada saat itu, negara-negara Barat menerapkan sanksi bagi Rusia, yang dinilai dapat memicu kekhawatiran pasokan logam penting tersebut. Terlebih, Rusia juga menjadi salah satu negara yang produsen nikel terbesar dunia.
Titik Balik
Setelah mendapatkan momentum kenaikan selama 2 tahun beruntun, harga nikel pada 2023 mulai mengalami penurunan yang sangat tajam. Bank Dunia mencatat rerata harga nikel turun 16,7% menjadi US$21.521,12/mt dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
"Penurunan ini disebabkan oleh melambatnya aktivitas ekonomi di negara-negara besar, yang telah mengurangi permintaan di tengah berlanjutnya pemulihan pasokan untuk beberapa logam dasar," tulis laporan Bank Dunia dalam Commodity Markets Outlook edisi Oktober 2023.
Namun, penurunan harga itu juga disebabkan oleh membanjirnya stok dari negara-negara produksi nikel terbesar global seperti China, Kongo, termasuk juga Indonesia.
Bank Dunia mencatat, sepanjang tiga kuartal pertama 2023, roduksi nikel global terus meningkat dan tumbuh 15%, dengan peningkatan pasokan terutama berasal dari Indonesia, negara terbesar di dunia.
Memasuki Januari 2024, harga kontrak berjangka nikel di London Metal Exchange (LME) pun terus merosot, meskipun banyak perusahaan telah mengumumkan langkah pengurangan produksi.
Harga nikel anjlok lebih dari 40% dari tahun lalu di tengah pasokan global yang meningkat. Pasar dibanjiri material baru dari Indonesia, sebagai produsen utama, pada saat pertumbuhan permintaan telah memudar.
Dampaknya terhadap industri pertambangan sangat parah. Pada Senin, perusahaan tambang nikel milik miliarder Andrew Forrest, Wyloo Metals Pty Ltd, mengumumkan penutupan beberapa tambang. BHP Group dan First Quantum Minerals Ltd juga terdampak, sementara sejumlah produsen kecil terpaksa menghentikan konstruksi atau bangkrut.
"Tekanan di pasar nikel global makin nyata," kata Colin Hamilton, managing director penelitian komoditas di BMO Capital Markets Ltd.
"Kami telah mengamati bahwa pengurangan kapasitas sementara atau permanen lebih lanjut diperlukan untuk menyeimbangkan pasar nikel setelah surplus tahun lalu, tetapi masih belum terlihat apakah penyesuaian yang memadai telah dilakukan," katanya.
Persediaan nikel di LME juga telah melonjak hampir 90% sejak Juni, pulih dari level terendah dalam satu dekade.
Harga Makin Terpelanting
Bank Dunia pun memproyeksikan tren penurunan akan terus berlanjut pada 2024 mencapai 5%, dengan rerata harganya menjadi US$20.000/mt.
Angka proyeksi itu lebih rendah sekitar 7,1% dibandingkan dengan realisasi harga 2023, tetapi masih lebih tinggi dari periode 2020—2021.
"Risiko penurunan utama terhadap perkiraan harga ini terletak pada perlambatan aktivitas yang lebih tajam di antara negara-negara maju dan China yang dapat makin melemahkan permintaan logam pada 2024."
Selain itu, pembatasan perdagangan dan tindakan kebijakan lainnya, seperti sanksi terhadap Rusia dan pembatasan aluminium China yang akan datang, dapat memperketat pasokan logam dan menaikkan harga.
Kini, di tengah kenaikan pasokan itu, permintaan nikel pun diramal berkurang seiring dengan munculnya teknologi baterai kendaraan listrik berbasis lithium iron posphate (LFP) sebagai pengganti nikel.
Kendati demikian, Bank Dunia berekspektasi harga nikel bisa sedikit kembali menguat menjadi US$20.500/mt pada 2025, dengan catatan jika ada peningkatan permintaan baterai mobil listrik.
(ibn/wdh)