Pergerakan harga obligasi alias surat utang juga masih positif bahkan reksa dana juga masih tumbuh setelah tahun lalu berkinerja buruk. Investasi valuta asing masih menjanjikan dengan kinerja dolar AS sudah menguat 1,5% year-to-date. Sementara aset tanpa imbal hasil seperti emas, terlihat masih stagnan menunggu momentum lebih kuat untuk mencetak rekor harga lagi seperti tahun lalu.
Arah Bunga
Sentimen pasar sejauh ini masih memegang ekspektasi bahwa bank sentral AS, The Fed, akan segera memulai serial penurunan bunga secepatnya pada Mei, bergesar dari tadinya diperkirakan mulai Maret dengan total penurunan enam kali sampai ke posisi 3,75%-4% dari posisi saat ini di 5,25%-5,5%, menurut pantauan di CME Fed Watch.
Begitu The Fed memulai pivot, suku bunga acuan domestik akan mengikuti. Penurunan bunga akan memberi kelegaan besar bagi pasar baik pasar surat utang maupun pasar saham. Tingkat imbal hasil SUN-10 tahun, misalnya, diprediksi bisa menyentuh level 6% begitu bunga turun, seperti diprediksi oleh BRI Manajemen Investasi.
Di sisi lain, penurunan bunga juga akan memberikan kelegaan bagi emiten sektor perbankan yang saat ini menghadapi tantangan keketatan likuiditas. Bunga turun berarti likuiditas bisa kembali longgar sehingga kapasitas penyaluran kredit bisa lebih besar yang itu membuka potensi kenaikan pendapatan bank berikut prospek margin bunga bersih bank.
Bagi instrumen yang menjadi turunan, seperti reksa dana saham maupun reksa dana pasar uang, hal tersebut juga akan berdampak positif terdongkrak kinerja aset dasar.
Sementara bagi penyuka investasi emas yang tidak memberikan imbal hasil, penurunan bunga akan memangkas pamor dolar AS. Dengan historis pergerakan yang berlawanan, dolar AS yang melemah akan memberi peluang bagi harga emas untuk bangkit menguat.
Di sisi lain, para pemodal pemula juga bisa menimbang berinvestasi di Surat Berharga Negara (SBN) ritel, terutama yang menerapkan floating with floor ataupun yang bisa dilepas lagi ke pasar sekunder dengan potensi menarik keuntungan kenaikan harga obligasi (capital gain).
Saham
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) maupun indeks LQ45 sepanjang awal tahun ini mungkin belum berhasil mencetak kinerja positif. IHSG masih negatif -0,83%, begitu juga LQ45 yang masih turun. Akan tetapi, beberapa saham bluechip berhasil mencetak kinerja mengesankan.
Misalnya, EXCL yang sudah naik harga 20,5%, juga ACES yang naik 14% year-to-date, bahkan BRIS juga melesat hingga 20%, disusul oleh TPIA (+9%), ICBP (+8,3%), meski indeks LQ45 pada saat yang masih masih melemah 0,61%.
Bila The Fed menurunkan bunga yang akan diikuti oleh Bank Indonesia, ditambah kepastian hasil pemilu, beberapa sektor saham kemungkinan akan mencetak reli kenaikan. Berkaca dari kinerja historis selama pemilu lalu, sektor keuangan dan consumer goods, mendapatkan keuntungan pasca hasil pemilu didapatkan. Terlebih ditambah berakhirnya era pengetatan moneter yang akan membantu sektor riil kembali bangkit.
Obligasi
Indeks harga saham obligasi domestik, ICBI, sejauh ini baru naik tipis 0,36%. Tingkat imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) bergerak stabil di kisaran 6,5% sejauh ini, setelah tahun lalu sempat menyentuh level tertinggi di 7,18% pada Oktober ketika nilai tukar rupiah terperosok menjebol Rp16.000/US$.
Manajer investasi memperkirakan, penurunan bunga global yang diikuti oleh BI rate akan membawa turun tingkat imbal hasil surat utang RI hingga 6%, level yang terakhir terlihat pada 2021. Itu berarti, harga surat utang berpeluang melejit tinggi dari posisi saat ini.
"Bila BI rate diturunkan tiga kali pada paruh kedua tahun ini, mengikuti penurunan bunga The Fed, tingkat imbal hasil SUN 10 tahun bisa jatuh ke 6% pada akhir tahun ini," kata Herman Tjahjadi, Chief Investment Officer di BRI Manajemen Investasi.
Prediksi yang sama juga keluar dari Goldman Sachs yang mempertahankan rekomendasi 'beli' untuk SBN bertenor 10 tahun dengan target di 6% dan stop loss di 7%.
SBN Ritel
Tahun lalu pemerintah merilis tujuh seri Surat Berharga Negara ritel dengan nilai emisi hampir Rp150 triliun.
Seri SBN ritel ini banyak diserbu oleh para pemodal, terutama pemodal pemula mengingat risikonya dianggap lebih kecil sementara cuan yang diberikan cukup memikat meski tidak terlalu tinggi. Tingkat imbal hasil tertinggi yang diberikan oleh SBN ritel tidak ada yang melampaui 6,5%. Tahun 2024, pemerintah menjadwalkan rilis delapan seri SBN ritel termasuk seri sukuk wakaf.
Dengan prospek penurunan bunga global dan domestik, SBN ritel yang bisa diperdagangkan di pasar sekunder seperti ORI atau Sukuk Ritel memiliki peluang mencatat kenaikan harga bila melepasnya di tengah masa tenor. Namun, bila investor memegangnya sampai jatuh tempo, ada potensi pemberian yield atau imbal hasil di pasar primer, tidak akan setinggi seri yang dilepas tahun lalu karena prospek penurunan bunga tersebut.
Bila berniat hold to maturity, akan lebih menarik bila mengambil seri SBN ritel yang memakai skema imbalan floating with floor. Alhasil, ketika nanti bunga acuan turun, pemodal masih berpeluang menikmati imbal hasil stabil.
Reksa Dana
Reksa dana mencatat kinerja 2023 yang buruk di tengah tren penurunan dana kelolaan manajer investasi yang menembus Rp15 triliun hanya dalam enam bulan tahun lalu.
Namun, di awal tahun ini, kinerja reksa dana terlihat cukup stabil dengan capaian return positif. Reksa dana saham misalnya, sebulan terakhir (hingga 23 Januari) berhasil mencatat return 0,86% seperti tecermin dari pergerakan Infovesta Equity Fund Index, di kala indeks yang menjadi underlying yaitu IHSG hanya mencetak kenaikan 0,26% pada periode yang sama.
Sementara reksa dana pendapatan tetap membukukan return 0,37% sebulan terakhir ketika indeks yang menjadi aset dasar, yakni surat utang negara dan korporasi masing-masing tumbuh 0,48% dan 0,12%. Sedangkan reksa dana pasar uang mencatat pertumbuhan 0,44%.
Ada peluang pertumbuhan return reksa dana tahun ini akan lebih baik seiring kinerja aset dasar dan ketidakpastian pasar yang mereda. Selain itu, arus redemption reksa dana akibat pembenahan industri unit link yang sempat berdampak pada industri dua tahun ini, kemungkinan sudah memasuki fase normalisasi.
Dolar AS
Tahun ini mungkin menjadi tahun di mana pamor the greenback menyusut setelah sejak 2022 perkasa mendominasi pasar valuta di tengah kebijakan moneter The Fed yang menaikkan dolar AS sebagai safe haven utama.
Tahun lalu, harga dolar AS di pasar domestik menutup tahun dengan pelemahan tipis 1% point-to-point. Namun, harga dolar AS sempat menembus Rp16.000/US$ yang mengimplikasikan penguatan 9% dari posisi terendah tahun lalu di Rp14.670/US$ yang terjadi April 2023.
Di awal tahun, harga dolar AS memperlihatkan tren menguat seiring dengan masih gamangnya penilaian pasar terhadap kapan persisnya jadwal pivot The Fed dimulai. Dolar AS sudah mencetak kenaikan nilai 1,5% year-to-date hingga level penutupan Selasa kemarin di Rp15.630/US$.
Akan tetapi, begitu The Fed memutuskan penurunan bunga, dolar AS bisa ditinggalkan. Bank Indonesia memperkirakan, tren nilai tukar rupiah sepanjang 2024 ini akan cenderung menguat dengan ketidakpastian global yang mereda. Dengan prospek bunga AS diprediksi akan terus melandai ke depan, bukan tidak mungkin harga dolar AS makin turun dalam jangka panjang.
Emas
Harga emas produksi PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) sempat terperosok melemah 1,32% dari posisi harga penutupan tahun lalu, ketika menyentuh harga terendah tahun ini pada 18 Januari lalu sebesar Rp1,115 juta per gram. Kini, emas Antam stagnan di harga Rp1,128 juta per gram, setara dengan pelemahan 1,5% dari level rekor tertinggi sepanjang masa tahun lalu.
Pergerakan emas biasanya berkebalikan dengan dolar AS. Yakni, ketika The Fed menurunkan bunga, emas bisa terdongkrak naik harganya dan bisa jadi menyentuh rekor lagi meski hanya bertahan dalam jangka pendek mengingat risiko resesi AS terbilang rendah sejauh ini.
Emas memang hanya cocok bila diperlakukan sebagai alat hedging atau lindung nilai dari inflasi jangka panjang. Sehingga, memperlakukannya sebagai investasi jangka pendek akan terlalu berisiko.
(rui/aji)