Bloomberg Technoz, Jakarta – Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengkhawatirkan perdebatan efisiensi penggunaan lithium ferro phosphate (LFP) dan nickel manganese cobalt (NMC) sebagai bahan baku baterai dapat berimbas terhadap investasi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) ke dalam negeri.
Deputi Bidang Promosi dan Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Nurul Ichwan mengatakan, perdebatan tersebut dapat menghambat pertumbuhan pasar EV dalam negeri.
"Sebenarnya yang berpengaruh itu adalah kepastian akan market-nya. Jadi kalau saya melihat kepastian mereka untuk melakukan investasi di Indonesia, bukan karena an sich pemerintah akan bersikap seperti apa dan regulasi seperti apa." ujarnya saat ditemui di Jakarta, Selasa (23/1/2024).
Nurul mengatakan upaya Indonesia dalam menggaet investasi produsen baterai hingga kendaraan listrik di dalam negeri saat ini telah membuahkan hasil. Dalam kaitan itu, dia mengkhawatirkan perdebatan soal efisiensi LFP dan NMC sebagai bahan baku baterai EV, dapat kembali membuat para investor kembali berpikir ulang.

Maraknya investasi EV di Tanah Air sedianya memang disebabkan lantaran Indonesia dinilai menjadi cengkeraman rantai pasok EV global karena memiliki nikel – sebagai bahan penting pembuatan baterai EV – yang melimpah ruah.
"Mereka berinvestasi dan berpoduksi di Indonesia bukan cuma untuk market di Indonesia, tetapi juga market lain termasuk Amerika dan Eropa."
Prospektif Hingga 2040
Meski demikian, Nurul optimistis bahwa investasi baterai yang berbasis LFP dan NMC itu masih berpotensi tumbuh hingga 2040.
Pertumbuhan jangka panjang itu, kata Nurul, didasari oleh pasar industri EV yang saat ini masih dalam proses perkembangan, sehingga peluang permintaaan EV ke depan masih terbuka lebar.
"Indonesia pengguna EV masih sangat rendah dan akan di-endorse banyak negara untuk transisi, potensi [investasi] pengembangan industri kendaraan listrik yang menggunakan LFP dan NMC masih punya kemungkinan. Saya lihat 2040 atau 2035 masih bisa tumbuh dua-duanya."
Sebelumnya, perbandingan antara baterai kendaraan listrik berbasis LFP dan berbasis nikel tengah menjadi perbincangan di Tanah Air.
Istilah ‘LFP’ menjadi buah bibir setelah disinggung-singgung oleh calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, dalam debat keempat Pilpres 2024 akhir pekan lalu.

Pada debat tersebut, putra sulung Presiden Joko Widodo itu tetiba menanyakan pendapat cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, soal LFP.
Dia juga bertanya apakah pasangan calon (paslon) 1 ‘antinikel’, dalam konteks upaya pemerintah menghilirkan pertambangaan nikel untuk mengembangkan ekosistem industri baterai kendaraan listrik.
Cak Imin pun membalas bahwa pihaknya tidak antinikel, tetapi mendesak agar pertambangan nikel harus dilakukan dengan lebih beretika dan membawa dampak ekonomi dan lingkungan yang adil kepada masyarakat.
Menyambung riuh perbincangan soal baterai LFP, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menyebut baterai LFP tetap tidak akan seefisien baterai berbasis nikel.
Deputi Bidang Koordinasi dan Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi mengatakan baterai EV berbasis LFP membutuhkan ruang penyimpanan yang lebih besar.
"[Kalau LFP], baterainya membutuhkan ukuran besar, tidak seefisien yang nickel based. Itu sih yang saya tahu," ujar Jodi saat ditemui di Jakarta, Selasa (23/1/2024).
Selain itu, kata Jodi, keunggulan baterai EV yang berbasis nikel juga terlihat dalam sisi keamanan penyimpanan energi yang lebih panjang dibandingkan dengan LFP. "Energy density-nya LFP belum bisa ngalahin lah yang nickel based."
(ibn/wdh)