Lourda juga kembali menekankan bahwa industri spa termasuk ke dalam wellness tourism yang seharusnya tidak dikategorikan sebagai industri hiburan tertentu, seperti yang dikategorikan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Sebab, dalam Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Nomor 11 Tahun 2019 tentang standar usaha spa, dijelaskan bahwa bisnis spa tidak termasuk sebagai kategori industri hiburan, melainkan industri kesehatan.
“Jadi jangan pernah siapapun pemerintah, eksekutif, legislatif, media menganggap spa dan wellness itu hiburan, itu salah besar. UU HKPD harus direvisi,” ujarnya.
Kedua, memberikan pendidikan, pelatihan dan sertifikasi soal industri wellness kepada 2.000 dokter umum, 20.000 terapis dan 2.000 manajer, khususnya soal etnaprana yang berasal dari tradisi dan budaya Indonesia.
Apalagi, lanjutnya, industri ini memiliki tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 100%. Bila industri ini didukung oleh pemerintah, efek domino juga bakal dirasakan oleh masyarakat lokal, bukan hanya oleh segelintir pihak.
“Etnaprana kita bersaing dengan ayurveda dari India dan TCM dari Singapura itu pesaing utama. Apa bantuan pemerintah dalam memenangkan persaingan internasional? ini ekonomi riil. Dari petani siapapun pelakunya akan terbawa dari potensi penerimaan Rp80 triliun atau lebih. TKDN etnapratna adalah 100%,” ujarnya.
Ketiga, mengeluarkan peraturan bahwa perusahaan asuransi harus mengirim nasabah ke industri yang berhubungan dengan kesehatan, salah satunya industri wellness.
Peraturan serupa, kata Lourda, sudah ditetapkan di Jerman. Dengan demikian, pengusaha mengharapkan Indonesia bisa menerbitkan peraturan serupa untuk mendongkrak industri tersebut.
Skeptis Soal Insentif
Di lain sisi, Lourda juga skeptis bahwa pemerintah daerah bakal memberikan insentif yang sesuai dengan kebutuhan pelaku industri. Apalagi, selama ini masih banyak batasan dalam insentif, seperti dalam jumlah orang yang bisa mengikuti pelatihan.
“Satu batch biasanya 30 orang, targetnya 20.000 terapis, 2.000 dokter umum, dan 2.000 manajer. Kapan selesainya?” ujarnya. “Menurut saya, [insentif] itu arahan yang tidak berguna. Tidak ada gunanya insentif karena itu tidak akan terjadi bagaimanapun. Industri wellness tidak harapkan insentif semu."
Bahkan, WHEA melalui Board of ETNA bakal menempuh sejumlah cara untuk menggencarkan pelatihan. Hal ini, lanjut Lourda, dilakukan karena pihaknya sudah skeptis dengan pemerintah.
“Kita sampai mau ambil soft loan. Kalau pemerintah mau dukung kita, soft loan kita mau ambil. Orang kita enggak tahu gimana lagi harus berharap ke pemerintah. Kita mau ambil soft loan, ini bisa dari World Bank atau dari mana aja,” ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah tengah menggodok rencana pemberian insentif fiskal terhadap PPh Badan atas Penyelenggara Jasa Hiburan.
Saat ini, Kementerian Keuangan bersama kementerian dan lembaga terkait sedang menggodok insentif pajak PPh Badan ditanggung Pemerintah (DTP).
Menurut dia, besaran insentif pajak PPh Badan DTP tersebut sebesar 10%, sehingga besaran tarif pajak PPh Badan akan turun dari 22% menjadi 12%. Hal ini disampaikan usai audiensi dengan asosiasi dan pelaku usaha di bidang perhotelan dan jasa hiburan.
“Masukannya tadi sudah kita terima semua. Saya minta, solusinya tadi dengan SE Mendagri. Pada waktu di Istana, saya sampaikan bahwa akan ada SE, dan Kepala Daerah bisa mengacu kepada SE Mendagri,” kata Airlangga di Kantornya, Senin (22/1/2024).
Dia mengatakan, rencana pemerintah tersebut telah dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nomor 900.1.13.1/403/SJ tanggal 19 Januari 2024 kepada kepala daerah sudah dapat menjadi acuan kepala daerah untuk memberikan insentif fiskal jasa kesenian dan hiburan tertentu.
(dov/wdh)