Bambang mengungkapkan Indonesia membutuhkan performa masif dari sisi investasi dan manufaktur jika ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas rerata 5%.
Sekadar catatan, investasi asing atau foreign direct investment (FDI) pada 2022 mencapai US$ 12,2 miliar, naik 45,8% secara tahunan. Sementara itu, investasi dalam negeri atau domestic direct investment (DDI) mencapai Rp 139,6 triliun, tumbuh 17% secara anual.
“Contohnya, bagus bahwa PKPM sudah memenuhi target FDI beberapa tahun terakhir, tetapi kita perlu lebih banyak. Kita juga perlu pertumbuhan yang lebih tinggi di manufaktur,” ungkapnya.
Bambang menjelaskan FDI dapat mendorong peningkatan teknologi produksi dalam sektor manufaktur.
Berdasarkan Strategi Transformasi Ekonomi 2045 Kementerian PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasiona (Bappenas), kontribusi produk manufaktur berteknologi tinggi pada ekspor Indonesia kurang dari 10%, lebih rendah dari sejumlah negara yaitu China, India, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Untuk itu, sebut Bambang, Indonesia perlu fokus melakukan re-industrialisasi dan mempromosikan sektor manufaktur.
“Bukan hanya dalam hal light manufacturing atau assembly, tetapi lebih ke high tech manufacturing dan meningkatkan produktivitas, serta competitiveness. Ini satu-satunya solusi kalau Indonesia mau meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari 5% ke 6%. Saya tidak melihat cara lain,” kata Bambang.
Menurut Bambang, perlu adanya konsistensi dalam menghentikan ekspor bahan mentah untuk menciptakan nilai tambah domestik. Selain itu, perlu ada harmonisasi terhadap syarat kandungan produk lokal dengan relaksasi investasi dan tarif impor.
“Indonesia beruntung karena memiliki sumber daya alam yang beragam. Sejauh ini kita belum bisa menciptakan nilai tambah maksimal dari sumber daya alam kita,” tambahnya.
(tar/wdh)