Dia berpendapat penurunan konsumsi nikel tersebut juga merupakan imbas dari suku bunga yang tinggi, lalu ada perubahan pola permintaan ke produk antara atau intermediate yang mendorong permintaan dari konsumen akhir produk olahan nikel, seperti baja nirkarat yang berkurang.
Senada dengan Zuhdi, pakar ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi berpendapat Indonesia justru menjadi negara yang sebelumya berpengaruh terhadap kenaikan harga nikel ketika memberlakukan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel ke luar negeri
"Saat Indonesia melarang ekspor bijih nikel, itu sempat menaikkan harga karena kekurangan suplai tadi. Namun, seiring dengan berjalan seiring waktu, ada keseimbangan, sehingga itu biasa, fluktuasi harga di pasar," ujarnya.
Fahmy menilai salah satu faktor yang menyebabkan anjloknya harga nikel dunia saat ini justru disebabkan oleh negara-negara Eropa, sebagai imbas dari pengaruh kebijakan Indonesia yang diterapkan pada 2020.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menolak tudingan bahwa oversuplai dari Indonesia adalah penyebab anjloknya harga nikel di tingkat global saat ini.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif mengeklaim produksi nikel dalam negeri masih tetap memperhatikan suplai dan permintaan, sehingga tidak bisa dituduh sebagai penyebab turunnya harga nikel dunia.
"Ya enggak lah. Kita kan tetap memperhatikan supply-demand," ujar Irwandy saat ditemui, baru-baru ini.
Harga nikel, yang digunakan untuk membuat baja tahan karat dan baterai kendaraan listrik memang telah merosot hingga 45% sepanjang tahun lalu. Hal itu di klaim didorong oleh membanjirnya pasokan murah dari Indonesia, yang dinilai akan mengancam dan mengganggu industri produk olahan nikel.
Menyitir laman London Metal Exchange (LME) pada penutupan Senin (22/1/2024), harga nikel tercatat berada di US$16.036 atau anjlok 0,74% dari penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
(ibn/wdh)