Dari sisi yang berseberangan, di Asia, fokus tetap tertuju pada kelesuan ekonomi pasca-pandemi di China, setelah Indeks CSI 300 China mencapai level terendah dalam lima tahun pada Senin. Meskipun komentar terbaru Perdana Menteri Li memicu beberapa optimisme investor, sebagian besar menunggu rincian lebih lanjut tentang apa yang sedang dipertimbangkan oleh pihak berwenang.
Kejatuhan indeks China terjadi di tengah sejumlah bank komersial China mempertahankan tingkat suku bunga pinjaman acuan mereka, langkah yang mengikuti keputusan baru-baru ini oleh Bank Sentral untuk mempertahankan biaya pinjaman yang ketat membuat investor kecewa yang berharap pada stimulus yang lebih agresif.
Tim Research Phillip Sekuritas Indonesia memaparkan, di tengah tekanan atas nilai tukar mata uang Yuan, Bank Sentral China (People's Bank of China/PBOC) mempertahankan suku bunga Loan Prime Rate (LPR) bertenor 1 tahun dan 5 Tahun masing-masing di 3,45% dan 4,20%, sehingga mengecewakan para investor yang mengantisipasi adanya kebijakan untuk menstimulasi ekonomi.
“Sebagian besar pinjaman bank yang beredar (Outstanding) dan pinjaman baru berdasar pada suku bunga LPF bertenor 1 Tahun, sementara suku bunga LPR bertenor 5 tahun mempengaruhi suku bunga KPR. Minggu lalu PBOC mengejutkan pasar dengan mempertahankan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) bertenor 1 Tahun,” mengutip riset harian Tim Research Phillip Sekuritas.
(fad)