"Rakyat Bali tidak minta apa-apa, Rakyat Indonesia tidak minta apa-apa. Kalau bisa itu apakah perlu DPR, atau perlu Presiden, atau perlu siapapun yang bisa mengganti kebijakan tersebut." jelas Niluh.
Sebelumnya, pemerintah dan DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Beleid ini mengatur Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang dipungut oleh kabupaten/ kota, dan khusus DKI Jakarta dipungut oleh provinsi.
PBJT ini meliputi makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, jasa kesenian dan hiburan, dengan tarif paling tinggi 10%. Sebelumnya diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan tarif paling tinggi 35%. Sementara itu, khusus PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, dikenakan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%. Sebelumnya, dengan UU 28/ 2009 paling tinggi hanya 75%, tanpa pembatasan minimum, sehingga bisa di bawah 40%.
Penetapan pajak hiburan pada mandi uap atau spa dikatakan Niluh sangat merugikan. "Mereka butuh regulasi yang memadai, bukan akhirnya bayar sekian kemudian dikurangi menjadi apa menjadi apa, mereka tidak membutuhkan hal itu," ucap Niluh mengenai kebutuhan rakyat saat ini.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Lydia Kurniawati mengatakan bahwa penetapan batas bawah bertujuan agar tidak ada persaingan antar usaha untuk mengenakan tarif terbawah sedangkan usaha tersebut memiliki potensi tinggi dari segi pendapatan.
"Penetapan basis pajak itu dikenankan agar tidak ada keinginan untuk raise to the bottom, atau bersaing mengambil tarif terbawah padahal potensinya tinggi terhadap pendapatan tersebut," jelas Lydia.
(fik/lav)