Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks S&P 500 di Wall Street naik 0,22% ke 4.850,43, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Kini S&P 500 sudah resmi masuk fase bull market.
Selain itu, ekonomi Amerika Serikat (AS) yang masih kuat membuat pasar mulai ragu bank sentral Federal Reserve akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat. Pekan lalu, US Census Bureau mengumumkan penjualan ritel pada Desember tumbuh 0,6% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yang 0,3% dan konsensus pasar dengan perkiraan 0,4%.
Ekonomi yang masih solid membuat inflasi di Negeri Paman Sam mungkin masih akan ‘bandel’. Inflasi sulit ditekan jika permintaan masih kuat.
“Akhir-akhir ini data yang dirilis cukup baik. Mungkin The Fed akan menahan suku bunga acuan di level tinggi untuk sementara waktu,” kata Jim Wyckoff, Analis Senior Kitco Metals, seperti diberitakan Bloomberg News.
Emas adalah aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding asset). Emas tidak memberikan bunga atau kupon secara rutin, potensi keuntungan baru didapat ketika aset dijual. Jadi, memegang emas pada saat suku bunga tinggi menjadi kurang menguntungkan.
Analisis Teknikal
Secara teknikal dengan perspektif harian (daily time frame), emas memang masih cenderung bearish. Terlihat dari Relative Strength Index (RSI) yang sebesar 45,4. RSI di bawah 50 menandakan suatu aset sedang di posisi bearish.
Sementara indikator Stochastic RSI berada di 33,59. Masih di atas 20, yang berarti belum jenuh jual (oversold). Ini mengindikasikan bahwa risiko tekanan jual belum selesai, sehingga harga emas masih bisa turun lagi.
Target support terdekat ada di US$ 2.016/ons. Jika tertembus, maka ada kemungkinan harga emas bakal jatuh ke arah US$ 1.987/ons.
Sedangkan ruang kenaikan harga emas relatif terbatas. Resisten terdekat ada di US$ 2.025/ons, ini saja sudah menjadi resisten yang kuat. Namun kalau tertembus, maka ada ruang naik lagi menuju US$ 2.033/ons.
(aji)