Fahmy menilai salah satu faktor yang menyebabkan anjloknya harga nikel dunia saat ini justru disebabkan oleh negara-negara Eropa, sebagai imbas dari pengaruh kebijakan Indonesia yang diterapkan pada 2020 lalu.
"Produsen nikel yang lain, dia menutup kekurangan spare dari Indonesia sehingga tidak ada keseimbangan. [...] Nah pada saat harga naik, negara-negara Eropa itu tidak menginginkan harganya tinggi karena dia menggunakan nikel untuk industrinya," tutur Fahmy.
Sebelumnya, produsen nikel swasta milik miliarder Andrew Forrest menghentikan operasi tambangnya di Australia Barat, tepatnya tambang-tambang di dekat Kambalda.
Musabab penghentina operasi tambang itu disinyalir akibat anjloknya harga nikel, yang merupakan logam penting untuk transisi energi.
Perusahaan mengeklaim berdasarkan keterangan resminya, tambang tersebut akan diistirahatkan dan menjalani perawatan mulai 31 Mei tahun ini.
Wyloo, yang baru membeli tambang tersebut 6 bulan lalu, memberitahu BHP Group Ltd bahwa mereka tidak dapat memenuhi perjanjian pembelian nikel yang akan berakhir pada 2025.
Harga nikel, yang digunakan untuk membuat baja tahan karat dan baterai kendaraan listrik memang telah merosot hingga 45% sepanjang tahun lalu. Hal itu didorong oleh membanjirnya pasokan murah dari Indonesia, yang dinilai mengancam akan mengganggu industri.
Selain Wyloo, awal bulan ini, First Quantum Minerals Ltd juga mengumumkan akan menghentikan penambangan nikel dan kobalt di Australia setelah memangkas sepertiga tenaga kerja karena harga logam yang melemah dan biaya yang meningkat.
Pengumuman penutupan tambang nikel Wyloo itu juga terjadi setelah BHP, perusahaan tambang terbesar di dunia, pekan lalu memperingatkan bahwa pihaknya mungkin terpaksa menurunkan nilai aset nikel mereka, yakni Nickel West, untuk memitigasi jatuhnya harga.
Operasional perusahaan itu yang mencakup tiga tambang, yakni sebuah pabrik peleburan di Kalgoorlie, kilang Kwinana, dan pabrik sulfat.
(ibn/wdh)