Namun, Mahfud menolak merespons pertanyaan itu. Dia menganggap pertanyaan dan pernyataan Gibran receh. “Itu tidak layak dijawab menurut saya. Oleh sebab itu, saya kembalikan ke moderator. Ini tidak layak dijawab pertanyaan kayak gini," balasnya.
RI perlu waspada greenflation
Dari perspektif pakar terkait dengan isu tersebut, Direktur Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengatakan greenflation sejatinya merupakan risiko kenaikan harga komoditas energi seiring dengan tren transisi energi dunia sebelum menuju titik keseimbangan.
"Dengan bergesernya investasi dan permintaaan komoditas yang berkaitan dengan transisi energi, akan ada periode ketidakseimbangan supply-demand, terutama mengingat diperlukannya waktu untuk ekspansi pertambangan tertentu dan kapasitas pabrikan," ujar Putra saat dihubungi, Senin (22/1/2024).
Dalam kaitan itu, Putra memperingatkan Indonesia, sebagai negara yang kini juga mulai jorjoran beralih ke energi hijau, bakal turut terserat terhadap dampak inflasi hijau tersebut.
Untuk itu, kata dia, Indonesia mesti memanfaatkan betul berbagai sumber daya alam terkait energi yang dimiliki-termasuk batu bara, nikel, bahkan minyak kelapa sawit- untuk turut menopang biaya transisi secara bertahap.
Selain itu, Putra juga mengatakan Indonesia perlu lebih memacu lebih jauh peningkatan kapasitas pabrikan dan rantai pasok energi baru dan terbarukan (EBT) di dalam negeri untuk dapat bersaing secara global.
"Potensi kenaikan harga komoditas terkait transisi seperti nikel justru harus bisa dimanfaatkan – karenanya hilirisasi tidak bisa sembarangan membuat produk turunan nikel yang murah, justru harus bisa tertakar," tuturnya.
"Perencanaan energi Indonesia harus bisa benar dipegang oleh pelaku usaha, untuk bisa menakar arah investasi dengan jelas."
Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki potensi EBT mencapai total 3.686 GigaWatt (GW), yang terdiri dari energi surya, bayu, hidro, bioenergi, panas bumi, dan juga laut.
Dalam upaya mendorong transisi energi, Indonesia juga telah berupaya mencari pendanaan global. Pendanaan itu salah satnya melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP), yang telah diresmikan pada medio November 2023.
Dalam dokumen itu, pembiayaan yang dibutuhkan RI untuk mendorong transisi energi diestimasikan mencapai US$95,9 miliar (sekitar Rp1.497,32 triliun asumsi kurs saat ini) pada 2023—2030 dan US$580,3 miliar (sekitar Rp9.060,48 triliun) pada 2023—2050.
(ibn/wdh)