Logo Bloomberg Technoz

Secara ringkas, greenflation sebenarnya adalah fenomena melonjaknya harga bahan-bahan baku – termasuk sejumlah jenis mineral untuk bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik – yang dibutuhkan untuk mendukung teknologi ramah lingkungan. 

Fenomena ini terjadi seiring dengan melesatnya tren investasi berbasis transisi energi. Bank-bank sentral di seluruh dunia pun sudah mulai pasang kuda-kuda untuk menghadapi tekanan inflasi yang mungkin akan disebabkan oleh proses transisi energi.

Tak bisa dipungkiri, isu perubahan iklim dan transisi energi menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan bank sentral di seluruh dunia ketika mereka juga harus bergulat dengan fluktuasi harga energi dan dampak dari kejadian cuaca ekstrem yang makin sering terjadi.

“Transisi ke energi ramah lingkungan ini mungkin mendorong inflasi dan bahkan sedikit stagflasi,” kata Gubernur Bank Sentral Prancis Francois Villeroy de Galhau, dalam sebuah konferensi di Bangkok, dikutip Bloomberg. “Saya tekankan ‘mungkin’, karena kami belum mengetahuinya.”

Villeroy de Galhau menilai inflasi yang disebabkan oleh transisi hijau akan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kebijakan moneter dunia ke depannya.

“Tetapi mungkin ini merupakan kebijakan yang berisiko. Jadi kita harus bereaksi [mengantisipasi greenflation], tetapi tidak bereaksi berlebihan.”

Ilustrasi transisi energi (Bloomberg Technoz)


Tekanan ekonomi akibat krisis iklim – baik dari sisi permintaan maupun penawaran – juga dapat memicu inflasi, kata M. Ayhan Kose dari Bank Dunia di forum yang sama. Menurutnya, bank-bank sentral mungkin harus “menilai ulang” kerangka kebijakan moneter, target inflasi, atau keduanya.

Para pembuat kebijakan moneter di dunia sedang menjajaki cara untuk mengelola risiko yang terkait dengan perubahan iklim dan dampak harga dari transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan.

Pada 2022, anggota Dewan Eksekutif European Central Bank (ECB) Isabel Schnabel mengatakan perkiraan inflasi mungkin perlu direvisi naik seiring upaya negara-negara UE untuk mengurangi emisi CO2.

Risiko terhadap negara-negara berkembang lebih besar, kata Kose, menyoroti perlunya menyediakan sumber daya bagi negara-negara berpenghasilan rendah.

“Ada ketegangan antara pasar negara berkembang dan negara maju mengenai pendanaan iklim,” katanya. “Kita harus jujur mengenai inti tantangan yang kita hadapi, yaitu pendanaan.”

(wdh)

No more pages