Logo Bloomberg Technoz

Puncak inflasi diperkirakan akan terjadi saat Ramadan-Idul Fitri, tetapi lantas melandai seiring sudah berakhirnya dampak putaran kedua kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), demikian analisis Chief Economist Bank Mandiri Faisal Rachman dalam catatannya pada awal bulan. Dengan catatan tidak ada lagi guncangan pada pasokan barang dan jasa yang signifikan, laju inflasi tahunan pasca Lebaran bisa kembali ke kisaran 2%-4%, menurut perkiraan ekonom Bloomberg Intelligence

Kedua, tekanan eksternal yang melemahkan nilai tukar rupiah diyakini hanya sementara saja. Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pernyataan di sebuah forum akhir Februari lalu menilai rupiah bisa kembali menguat. 

"Kami yakin akan menguat begitu ketidakpastian mulai mereda dan kembali ke fundamental prospek ekonomi Indonesia baseline 4,9% tapi bisa 5% atau 5,1%. Komitmen BI menstabilkan nilai tukar rupiah, insya Allah stabilitas moneter akan kami jaga," ujar Perry.

Di sisi lain, bank sentral juga menambah instrumen operasi moneter baru dengan term deposit valas Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diharap bisa membantu penambahan suplai dolar AS di pasar domestik. Walau sampai dua pekan dijalankan, nilai penawaran masuk dalam lelang TD Valas DHE itu belum terlalu besar, baru berkisar US$ 15 juta pada lelang 2 Maret dan US$ 21,75 juta pada 7 Maret.

Posisi cadangan devisa sampai akhir Februari masih memadai di posisi US$ 140,311 miliar, tertinggi dalam setahun dan setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau 6 bulan impor serta pembayaran utang luar negeri pemerintah. 

The Fed Kembali Hawkish

Persoalannya, keyakinan itu membentur tembok bila melihat apa yang dihadapi oleh nilai tukar rupiah dalam beberapa pekan terakhir. Rupiah terus tertekan hingga terlempar ke posisi terlemah dalam dua bulan di level Rp 15.450 per dolar AS, anjlok 1%, Rabu (8/3/2023). 

BI mengintervensi pasar valas untuk menahan kejatuhan nilai tukar rupiah (Bloomberg)

Pangkalnya masih sama. Arah bunga acuan bank sentral AS diperkirakan akan lebih tinggi dari perkiraan terakhir pelaku pasar, bahkan beberapa pengelola dana kakap global sudah mulai bersiap-siap bila The Fed mengerek bunga sampai 6%. Pelaku pasar juga bersiap-siap menghadapi risiko hard landing perekonomian Amerika terindikasi dari melejitnya yield US Treasury tenor pendek melampaui yield surat utang yang lebih panjang. 

Dengan semua tekanan itu, pemodal global memilih menjauhi dulu aset-aset emerging market termasuk Indonesia terutama di pasar obligasi. Kepemilikan pemodal asing atas Surat Utang Negara (SUN) turun sekitar Rp 16,74 triliun ke posisi Rp 799,46 triliun per 7 Maret, dibandingkan posisi tertinggi tahun ini pada 7 Februari sebesar Rp 816,2 triliun. 

Meskipun ketika rupiah terlempar di titik terlemah 2 bulan kemarin, pemodal asing memanfaatkannya untuk memborong SUN sebesar Rp 290 miliar dan mencetak nett buy senilai Rp 385,92 miliar di pasar saham. Di pasar ekuitas, setelah sempat mencatat net sell sebesar Rp 1,056 triliun di akhir Februari, pemodal asing masih mencetak net buy atau beli bersih sebesar Rp 111,96 miliar selama periode 1-8 Maret ini.

Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas, memperkirakan, eksodus dolar AS kemarin banyak terjadi di perbankan. "Bila saham dan obligasi mencatat net buy tapi rupiah tetap melemah, eksodus dolar AS berarti dari perbankan," jelasnya pada Bloomberg Technoz, Kamis (9/3/2023).

BI mengintervensi pasar valas spot dan pasar Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) agar pelemahan rupiah tertahan menyusul tekanan eksternal yang cukup besar belakangan. Bank sentral ingin memastikan pasokan dan permintaan valas memadai di pasar.

“Intervensi masih dalam jumlah yang bisa dikelola,” kata Direktur Eksekutif Manajemen Moneter Bank Indonesia Edi Susianto, seperti dikutip oleh Bloomberg News, Rabu (8/3/2023). Intervensi ini cukup berhasil menahan rupiah di kisaran Rp 15.429 per dolar AS, pada Kamis pukul 10:46 WIB.

Bunga Acuan Perlu Naik?

Ekonom menilai, situasi terkini perekonomian AS tidak bisa diabaikan oleh bank sentral. Arah kebijakan The Fed yang memberi sinyal kuat agresivitas kenaikan bunga akan kembali lagi, bisa menjadi kabar buruk bagi pasar dalam negeri. Terlebih pada bulan-bulan ke depan, permintaan valas akan meningkat cukup tinggi. 

“Kredibilitas BI dalam menjaga stabilitas rupiah menjadi sangat penting jelang kenaikan permintaan valas Mei-Juni nanti. Bila tidak ada respons moneter yang kuat, tekanan pada rupiah bisa berlanjut,” jelas Satria Sambijantoro, Kepala Ekonom Bahana Sekuritas.

Periode Mei-Juni secara historis mencatat kenaikan permintaan valas untuk keperluan impor minyak dan gas oleh Pertamina, impor barang konsumsi serta jadwal pembayaran dividen oleh korporasi dan utang luar negeri. 

Tanpa respon yang memadai dari otoritas moneter, korporasi akan memajukan jadwal pembelian valas untuk antisipasi pelemahan rupiah lebih lanjut. Akibatnya, rupiah bisa makin terbenam. “Jika Fed benar-benar mengerek suku bunga 100 bps dalam 4 bulan kedepan seperti yang diprediksi pasar, sangat sulit jika yield obligasi rupiah tidak menyesuaikan dan BI tidak menaikkan bunga sama sekali,” ujar Satria.

Teuku Riefky, ekonom LPEM Universitas Indonesia, menilai, BI perlu untuk fokus menjaga agar volatilitas rupiah tidak tajam. “Yang perlu dijaga oleh BI adalah stabilitasnya,” katanya.

Volatilitas rupiah makin tajam akibat sentimen The Fed yang membuat pasar khawatir selisih antara BI7DRR dan Fed Fund Rate makin sempit. “BI perlu terus memperhatikan interest rate differential tersebut,” kata Riefky.

Lionel menambahkan, kisaran kurs dolar AS di rentang ​​Rp 15.400-Rp 15.500 seperti saat ini seharusnya sudah menjadi alarm bagi MH Thamrin. Dengan sinyal hawkish The Fed, BI setidaknya harus memberi jarak dengan Fed Fund Rate agar aset rupiah masih menarik.

“BI masih harus menaikkan bunga 100 bps ke 6,75% dengan upside risk ke 7%,” jelas Lionel. Bunga acuan setinggi itu, jelas akan mengakibatkan konsumsi dan investasi dalam negeri akan tertahan.

Tekanan terhadap rupiah saat ini terjadi berdekatan dengan siklus kenaikan permintaan dolar AS di pasar pada April-Juni, di mana itu bisa berdampak jangka pendek pada korporasi yang memiliki eksposur valas tinggi dan korporasi yang membutuhkan valas untuk pembayaran impor, utang luar negeri dan dividen. Hal itu bisa berdampak jangka pendek terhadap laporan keuangan bila harga dolar terus mahal.

BI perlu bergerak mengubah narasi kebijakannya sebelum terlambat. “Dari yang kita pelajari dari The Fed pada 2022, bank sentral menghadapi tes kredibilitas dan dipaksa menaikkan bunga lebih tinggi dari yang dibutuhkan,” kata Satria.

Akan menjadi langkah aman bagi BI bila mengerek bunga secara bertahap hingga ke posisi 6,5% tahun ini, dimulai dengan 25 bps pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pekan depan, demikian pandangan Satria.

Biaya Bila Rupiah Terus Melemah

Bila nilai tukar rupiah terus melemah tertekan sentimen eksternal, dampaknya bisa besar bagi perekonomian. Menurut Riefky, ada risiko imported inflation yang tinggi akibat rupiah yang terus melemah.

“Itu bisa membuat impor bahan baku dan barang modal makin mahal sehingga ongkos produksi dalam negeri juga naik, akhirnya berdampak pada inflasi domestik dan pelemahan daya beli masyarakat,” jelasnya.

Menilik historis, pergerakan mata uang tidak begitu berpengaruh pada kondisi ekonomi domestik karena porsi konsumsi barang impor di perekonomian relatif kecil, menurut Satria. Namun, BI tetap perlu mengantisipasi kenaikan permintaan valas yang tinggi bulan-bulan ke depan karena rupiah yang melemah akan mempengaruhi biaya belanja valas korporasi. Beberapa sektor industri yang memiliki eksposur valas cukup tinggi dalam bentuk obligasi di antaranya sektor konstruksi, farmasi, otomotif dan makanan-minuman. 

Di sisi lain, kenaikan bunga acuan bisa menahan pertumbuhan ekonomi yang saat ini tengah berupaya bangkit pasca pandemi jinak. Data terbaru penjualan ritel hari ini mencatat terjadi kontraksi (pertumbuhan negatif) pada Januari 2023. BI melaporkan, penjualan ritel yang tercermin melalui Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Januari 2023 berada di 208,2. Terkontraksi 0,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

"Kontraksi lebih dalam tertahan oleh pertumbuhan kelompok makanan, minuman, dan tembakau serta subkelompok sandang yang tetap tumbuh positif," tulis BI dalam pernyataan Kamis siang. 

(rui/aji)

No more pages