Logo Bloomberg Technoz

Pamor dolar AS pun kembali bangkit dan pada saat yang sama menggerus pamor valuta di pasar negara berkembang (emerging market) termasuk rupiah. Pelemahan rupiah memang tidak sendiri. Hampir semua mata uang di kawasan Asia mencatat pelemahan yang cukup dalam terhadap the greenback.

Ringgit Malaysia misalnya, mencatat pelemahan hingga 3,72% bila dibanding posisi penutupan akhir tahun lalu (point-to-point). Baht Thailand bahkan tergerus sampai 4,04%. Won Korea Selatan mencatat pelemahan 3,53%. Namun, performa rupiah masih kalah oleh rupee India yang masih berhasil mencatat penguatan tipis 0,18% dibanding level penutupan akhir tahun lalu.

Pelemahan rupiah pekan lalu berlangsung ketika para pemodal asing kembali bergairah menyerbu pasar keuangan Indonesia. Berdasarkan data transaksi 15 – 18 Januari lalu, nonresiden di pasar keuangan domestik tercatat beli neto Rp7,66 triliun, menurut laporan Bank Indonesia.

Posisi beli bersih itu terdiri atas beli neto Rp5,52 triliun di pasar Surat Berharga Negara, beli neto Rp650 miliar di pasar saham, dan beli neto Rp1,5 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Alhasil, selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen sampai 18 Januari, nonresiden beli neto Rp5,72 triliun di pasar SBN, beli neto Rp9,83 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp13,67 triliun di SRBI.

Domestik tidak mendukung

Rupiah tidak kuasa bertahan dari tekanan sentimen global. Pada saat yang sama, rupiah tidak memiliki daya ungkit yang cukup mumpuni dari dalam negeri. Sinyal pelemahan ekonomi domestik semakin kentara dengan tantangan likuiditas yang dihadapi oleh kalangan perbankan dan industri reksa dana sejurus dengan kebijakan pengetatan oleh bank sentral yang belum terjeda.

Likuiditas mengetat berlangsung di kala kegiatan dunia usaha juga melemah. Hasil survei yang dilansir Bank Indonesia pekan lalu mencatat, aktivitas dunia usaha menurun terimbas permintaan domestik yang lesu. Kapasitas produksi yang terpakai pun menurun dan memicu efek lanjutan dengan penurunan penyerapan tenaga kerja.

Keputusan BI menahan bunga acuan BI rate di 6% dan Giro Wajib Minimum (GWM) bank di 9%, tertinggi sejak 2008, menjadi sinyal bahwa upaya bank sentral menguras likuiditas dari perekonomian masih akan terus berjalan.

(rui)

No more pages