Sebagai informasi, pupuk adalah salah satu barang yang masih mendapatkan subsidi dari pemerintah. Berikut perkembangan nilai subsidi pupuk sejak 2014:
Periode |
Subsidi (Rp Triliun) |
2014 |
21,05 |
2015 |
31,32 |
2016 |
26,85 |
2017 |
28,84 |
2018 |
33,61 |
2019 |
34,31 |
2020 |
31,09 |
2021 |
27,22 |
2022 |
29,77 |
Sumber: BPK
Penyaluran subsidi pupuk tidak mulus, banyak tantangan yang kemudian jadi temuan di sejumlah lembaga. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), misalnya, pada 2022 merilis Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terhadap Penyaluran Pupuk Bersubsidi 2021.
Total subsidi pupuk tahun 2021 (unaudited) sebesar Rp 27,45 triliun, kemudian setelah diperiksa menjadi Rp 27,22 triliun (audited).
"Walaupun jumlah koreksi ini masih terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah subsidi, tetapi perlu menjadi perhatian kita bersama. Ke depannya, diharapkan BPK tidak menemukan lagi hal seperti ini," tegas Hendra Susanto, Anggota VII BPK, dalam keterangan tertulis.
Tidak hanya BPK, Ombudsman RI juga memberikan perhatian terhadap subsidi pupuk. Ini tertuang dalam laporan Kajian Sistemik Ombudsman RI tentang Pencegahan Maladministrasi dalam Tata Kelola Pupuk Bersubsidi yang terbit pada April 2021.
Ombudsman mengungkap sedikitnya ada lima potensi maladministrasi dalam tata kelola pupuk bersubsidi yaitu:
-
Tidak dituangkannya kriteria secara detil petani penerima pupuk bersubsidi dalam Peraturan Menteri Pertanian No 49/2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021.
-
Ditemukan ketidakakuratan data petani penerima pupuk bersubsidi. Pendataan petani penerima pupuk bersubsidi dilakukan setiap tahun dengan proses yang lama dan berujung dengan ketidakakuratan pendataan. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, ada potensi maladministrasi dalam proses pendataan, yang berakibat pada buruknya perencanaan dan kisruhnya penyaluran pupuk bersubsidi.
-
Terbatasnya akses bagi petani untuk memperoleh Pupuk Bersubsidi serta permasalahan transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi.
-
Mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi yang belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan prinsip 6T (tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu).
-
Belum efektifnya mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi.
“Merujuk temuan di atas, Ombudsman menyimpulkan perlunya reformasi kebijakan pupuk nasional secara fundamental. Pertama, perlu perbaikan kriteria petani penerima pupuk bersubsidi dengan beberapa opsi misalnya pupuk bersubsidi alokasinya diberikan 100% kepada petani tanaman pangan dan hortikultura sesuai kebutuhan lahannya dengan luas lahan garapan di bawah 0,1 hektar.
“Kedua, akurasi pendataan petani penerima pupuk bersubsidi. Caranya adalah dengan melakukan pendataan penerima pupuk subsidi dilakukan setiap lima tahun sekali dengan evaluasi setiap tahun. Selain itu dapat dilaksanakan penyusunan mekanisme pelibatan Aparatur Desa dalam pendataan, verifikasi dan validasi Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) Pupuk Bersubsidi. Ketiga, mengevaluasi mekanisme subsidi di semua tahapan,” papar keterangan tertulis Ombudsman.
(aji)