Bloomberg Technoz, Jakarta - Pemerintah diminta mengevaluasi berbagai risiko internal ihwal hengkangnya korporasi besar Rusia dalam megaproyek hulu migas Tanah Air. Rusia hengkang karena risiko eksternal seperti sanksi negara-negara barat, setelah terlibat konflik dengan Ukrainan sejak 2022 lalu.
Kepala Center of Food, Energy, Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra P Talattof menilai hal tersebut sangat krusial, yang menjadi pertimbangan investor dalam berinvestasi di dalam negeri.
Adapun sebelumnya, kepastian rencana investasi 2 proyek hulu migas oleh Rusia di Indonesia hingga kini masih belum menemui kejelasan. 2 proyek itu yakni yakni PJSC Rosneft Oil Company di proyek grass root refinery (GRR) Kilang Tuban, dan JSC Zarubezhneft – BUMN migas Rusia di Blok Tuna.
Musabab hengkangnya korporasi negeri Beruang Merah itu lantaran mendapat beberapa sanksi dari dunia internasional, terutama negara-negara Barat pada akses pendanaan, teknologi hingga jasa konstruksi kilang, setelah terlibat konflik dengan Ukraina sejak Februari 2022 lalu.
"Dari sisi internal saya pikir itu juga jadi pertimbangan investor ya, bukan hanya rusia saja," ujar Abra saat dihubungi, Jumat (19/1/2024).
Abra mengatakan sejumlah risiko internal tersebut yakni kepastian pentuan pemimpin dalam pemilihan presiden (pilpres) yang saat ini tengah digelar.
"Ini juga saya pikir punya pengaruh yang signfikan, yang mempengarui konfidensi investor untuk memutuskan perpanjangan investasi di hulu migas, ini kan jangka panjang ya. itu hal yang paling mendasar," ujar dia.
Selain itu, kata Abra, pemerintah juga diminta untuk memperbaiki berbagi regulasi dan kebijakan, yang dapat memudahkan proyek hulu migas di Tanah Air dapat dilirik oleh investor global.
"Itu juga dibutuhkan dari dukungan pemerintah Indo, dalam artian ini karena mereka juga butuhkan dukungan itu. jadi bukan semata-mata aspek teknis saja, bukan financial saja, tapi juga aspek regulasi, kebijakan, nonfiskal dan fiskal. fiskal sudah, non fiskal itu penting," terangnya.
Dia juga menggarisbawahi soal wilayah Blok Tuna yang berlokasi tak jauh dari Laut China Selatan, yang kini juga dihantui oleh isu stabilitas keamanan.
"Kondisi di sana semakin mencekam, artinya mereka juga akan lihat. Kalau pemerintah bisa memastikan stabilitas keamanan di sana, itu jadi jaminan terhadap keberlangsungan dukungan bisnis di hulu migas."
Rusia sendiri memiliki 2 poyek hulu migas besar di Indonesia, yakni PJSC Rosneft Oil Company di proyek grass root refinery (GRR) Kilang Tuban, dan JSC Zarubezhneft – BUMN migas Rusia di Blok Tuna.
Terhadap proyek GRR Tuban, proyek itu sejatinya akan dijadikan proyek strategis nasional (PSN). Mengutip laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), proyek itu dirancang untuk produksi minyak hingga 300.000 barel/hari dan menelan nilai investasi Rp238,25 triliun.
Proyek itu nantinya bakal digarap oleh subholding Pertamina, yakni PT Pertamina Kilang Internasinal (KPI), bersama dengan Rosneft, meski saat ini masih belum ada kejelasan.
Namun, KPI masih belum putus berharap dan tetap memberi batas waktu dan memastikan keputusan investasi akhir atau final investment decision (FID) proyek Kilang Tuban akan diumumkan pada Maret 2024.
"Insyaallah Maret 2024 FID bisa kita dapatkan. Tentu harapannya dengan dukungan infrastruktur dan akses lahan kilang [yang mumpuni]," ujar Direktur Utama PT KPI Taufik Adityawarman di kompleks parlemen, pengujung 2023.
Sementara itu, BUMN Rusia, yakni Zarubezhneft, juga ikut mundur dalam proyek migas di Blok Tuna, yang menyebabkan pengunduran keputusan investasi akhir atau FID terhadap pengembangan Blok Tuna, di Laut Natuna Timur hingga 2025.
Sejatinya, pemerintah padahal telah memberikan persetujuan rencana pengembangan atau plan of development (PoD) Lapangan Tuna sejak Desember 2022.
Di Blok itu, Zarubehzneft berencana menggarap bersama perusahaan migas asal Inggris, Harbour Energy, dengan masing-masing memiliki participating od interest (PI) sebesar 50%.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, Blok Tuna diperkirakan memiliki potensi gas di kisaran 100 hingga 150 million standard cubic feet per day (MMSCFD). Selain itu, investasi pengembangan lapangan hingga tahap operasional ditaksir mencapai US$3,07 miliar atau setara dengan Rp45,4 triliun.
(ibn/ain)