Bloomberg Technoz, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengingatkan pemerintah belum melaksanakan pembayaran utang minyak goreng selama dua tahun. Utang sebesar Rp344 miliar telah berlangsung sejak 19 Januari 2022.
“Kewajiban sudah kami penuhi sesuai perintah peraturan menteri perdagangan, tapi hak belum kita dapatkan,” ujar Ketua Umum Aprindo, Roy Mandey dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/1/2024).
Aprindo memastikan akan terus meneruskan untuk melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN). Sehingga permasalahan rafaksi masuk ke dalam ranah hukum.
Roy mengatakan pihaknya tengah melakukan pemberkasan khususnya untuk memastikan bahwa kedudukan hukum (legal standing) dari Aprindo terpenuhi. Aprindo, sambungnya, harus memastikan kecukupan pihak karena perjanjian selisih beli harga migor yang dibayarkan pemerintah melalui alokasi dana pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) terjadi antara pemerintah dengan produsen dan distributor, bukan kepada peritel.
Roy memastikan bahwa produsen dan distributor bakal bersama dengan Aprindo dalam menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
“(Gugatan) sedang disiapkan oleh pengacara. Segera, kita baru dapat kepastian adanya distributor dan produsen bulan November akhir. Sehingga sudah masuk diproses dokumentasi pemberkasan yang dilakukan pengacara,” ujarnya.
Selanjutnya, Aprindo bakal kembali mengirimkan surat terbuka ke Presiden Joko Widodo. Menurut Roy, pihaknya telah melayangkan surat sebanyak 4 kali, namun belum mendapatkan respons dari Jokowi.
Dirinya sangat menghargai bahwa Jokowi memiliki kesibukan dan waktu yang belum tersedia untuk menerima audiensi, namun surat terbuka kembali dilayangkan agar pihaknya mendapatkan kepastian ihwal penyelesaian rafaksi yang sudah hampir mencapai 2 tahun.
Dalam hal ini, Roy sejak dulu memang menerima opsi lain yang ditawarkan untuk penyelesaian rafaksi, entah dalam subsidi dan sebagainya, sebab hingga saat ini penyelesaian rafaksi belum menemukan titik terang.
Roy juga mempertanyakan sikap dari Kementerian Perdagangan yang tidak menjelaskan dengan lengkap perbedaan data hitungan utang rafaksi antara PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo) dan Aprindo.
“Yang terjadi ketidakjelasan hasil Sucofindo sampai akhir ini belum dibuka, baru secara lisan. Kalau tidak cocok datanya, buka-bukaan, saling check dan recheck. Sekarang data di kantor Kemendag dan tidak pernah dibuka transparan ke peritel. Kalau ada perbedaan, cocokkan data dan berikan hasil ke BPDPKS, lalu bayar ke kita,” pungkasnya.
(dov/ain)