Laporan tersebut tidak secara khusus menyebutkan nama-nama perusahaan yang mengalami kesulitan, tetapi beberapa kasus restrukturisasi besar telah muncul di Indonesia sejak pandemi, seperti PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT).
Meskipun sebagian besar perusahaan Indonesia sehat secara finansial, sekitar 19% dari perusahaan perlu memperbaiki neraca keuangan mereka dan 9% harus meningkatkan kinerja operasional mereka. Pemulihan perusahaan-perusahaan dari kesulitan juga terbilang lambat, yang menghasilkan subkelompok perusahaan yang terus bertahan meskipun dalam kondisi yang buruk.
Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kesulitan perusahaan termasuk resistensi terhadap perubahan operasional, keengganan kreditur untuk mengurangi utang, dan kurangnya kerangka hukum yang kuat untuk restrukturisasi keuangan. Sektor pertambangan logam dan non-batubara, ritel, transportasi dan infrastruktur, serta industri konstruksi adalah yang paling tertekan dalam situasi ini.
Situasi perusahaan-perusahaan Indonesia dapat memburuk tahun ini karena konflik yang masih berlangsung, gangguan dalam rantai suplai, dan tantangan lainnya. Meskipun Indonesia masih dalam kondisi yang relatif baik, para ahli memperkirakan bahwa situasi ini akan semakin memburuk. Fokus yang mendalam pada utang, posisi kas, dan likuiditas akan menjadi sangat penting bagi perusahaan-perusahaan tersebut.
Perusahaan-perusahaan konstruksi terkemuka di Indonesia juga telah mengalami lonjakan utang karena pembangunan infrastruktur yang pesat di negara ini dalam beberapa tahun terakhir. Perusahaan-perusahaan yang menghadapi jatuh tempo utang dalam beberapa bulan mendatang akan menghadapi kesulitan dalam mendapatkan akses dana yang mahal dan sulit. Direktur senior di Alvarez & Marsal mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan ini harus sangat berhati-hati dalam menghadapi 18 bulan ke depan.
(bbn)