Namun, sisa 1.136 kg atau sekitar 1,1 ton tidak pernah sampai ke tangan Budi Said. Padahal, menurut pengakuannya, ia telah menyerahkan seluruh uang pembelian emas ke Antam (ANTM).
Budi Said sempat meminta klarifikasi selisih 1,1 ton emas yang belum dikirimkan, termasuk ke kantor Antam (ANTM) di Jakarta. Namun, pihak pusat justru membalas jika Antam (ANTM) tidak pernah menjual emas dengan harga diskon.
Lantaran selisih emas tak kunjung dikirimkan hingga merasa tertipu, Budi Said akhirnya membawa kasus ini ke ranah hukum. Pada 7 Februari 2023, Budi Said melakukan gugatan melalui Pengadilan Negeri Surabaya.
Setelah saling adu langkah hukum, Budi Said menjadi pihak yang memenangi perkara tersebut. Ini ditandai dengan penolakan Mahkamah Agung (MA) atas peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh pihak Antam (ANTM).
Dengan penolakan PK tersebut, maka Antam (ANTM) tetap dikenakan vonis sebelumnya, yakni menyerahkan sisa 1,1 ton emas yang menjadi perkara.
Tersangka Kejagung
Kabar terbaru, Kejagung bersama sejumlah oknum pegawai PT Antam diduga melakukan pemufakatan jahat, dengan merekayasa transaksi jual-beli emas logam mulia dengan harga yang ditransaksikan dilakukan di bawah harga yang ditetapkan oleh PT Antam.
Kejagung bahkan menjadikan dugaan pemufakatan yang terjadi antara Budi Said dan oknum PT Antam--hingga pengajuan gugatan perdata tersebut-- sebagai bagian dari fakta untuk memulai penyidikan kasus tipikor.
"Ditemukan alat bukti yang cukup. Selanjutnya, saksi BS (Budi Said) ditingkatkan statusnya sebagai tersangka," ujar Kapuspenkum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana dalam konferensi pers, Kamis (18/1/2023).
Kejagung menjerat Budi dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.
(ain)