Logo Bloomberg Technoz

“Kami pikir ada peluang yang masuk akal bahwa The Fed akan menaikkan bunga ke 6% dan mempertahankannya dalam waktu lama untuk memperlambat ekonomi dan menurunkan inflasi hingga mendekati 2%,” ujar Rick Rieder, Chief Investment Officer Global Fixed Income di BlackRock, dalam catatannya hari Selasa, seperti dilansir Bloomberg News, Rabu (8/3/2023).

Ketakutan terhadap resesi juga naik lagi terindikasi dari makin lebarnya gap inversi antara US Treasury tenor 2 tahun dengan tenor yang lebih panjang, menjadi sinyal para pelaku pasar bersiap akan terjadinya skenario hard landing untuk perekonomian AS. “Puncak bunga 6% bukan lagi hal yang mengagetkan,” kata Kellie Wood, Deputy Head of Fixed Income Schroders Australia. 

Ancaman bagi aset negara berkembang

Tingkat bunga 6% akan memicu penguatan dolar AS lebih besar lagi dan menekan pertumbuhan ekonomi global dan akhirnya akan mempengaruhi penilaian terhadap aset-aset emerging market.

“Pembukaan kembali ekonomi China dan masih relatif langkanya pasokan baru bisa meredam selisih yield antara obligasi US dan China, meredam pukulan bagi spread obligasi USD dan China,” ujar Mark Reade, Head of Fixed Income Research di Mizuho Securities Asia.

Sentimen The Fed akan memperburuk prospek aset-aset di pasar negara berkembang setelah target pertumbuhan ekonomi China yang lebih rendah juga memupus harapan reli aset di emerging market termasuk Indonesia.

Higher for longer akan menjadi skenario dasar dan jika skenario itu terjadi, emerging market akan terdampak,” ujar Brendan McKenna, Strategist untuk emerging market Wells Fargo. “Pasar benar-benar berharap akan ada jeda [kenaikan bunga] dan pemangkasan bunga The Fed tahun ini, tapi sejauh ini skenario itu tidak ada,” katanya.

Kabar buruk pasar domestik

Semakin tajamnya potensi kenaikan bunga acuan The Fed menjadi kabar buruk bagi pasar domestik. Terlebih bila tekanan eksternal itu tidak mendapatkan respon yang memadai dari otoritas moneter yaitu Bank Indonesia (BI).

Pasalnya, bila bunga The Fed bisa terus mendaki sedangkan bunga acuan BI7DRR bergeming, maka selisih yield US Treasury dan Surat Utang Negara (SUN) juga akan makin sempit dan semakin kuat mendorong arus keluar modal asing dari pasar domestik. Tekanan terhadap rupiah, pasar obligasi dan ekuitas dalam negeri bisa kian tak terbendung.

"Sekarang ini, pasar mulai menaikkan ekspektasi suku bunga AS yang 'terminal rate' diperkirakan mencapai 5,75%. Jika Fed benar-benar mengerek suku bunga 100 bps dalam empat bulan kedepan seperti yang diprediksi pasar, sangat sulit jika yield obligasi rupiah tidak menyesuaikan dan BI tidak menaikkan bunga sama sekali," jelas Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.

Yield SUN tenor 10 tahun semakin melejit di level 7,05%, sedangkan tingkat imbal hasil US Treasury tenor yang sama ada di posisi 3,981%. Pairing USDIDR menguat ke kisaran 15.435, pada pukul 14:51 WIB. Tekanan pada pasar saham juga meningkat kendati akhirnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil ditutup menguat tipis 0,14% ke posisi 6.776,37 pada Rabu (8/3/2023).

Tekanan eksternal yang terus berlanjut menciderai nilai tukar rupiah diperkirakan akan berlanjut menyusul tren kenaikan suplai dolar AS pada bulan-bulan ke depan. Permintaan valas berpotensi meningkat pada Mei-Juni nanti untuk kebutuhan impor migas dan barang konsumsi, juga permintaan untuk pembayaran dividen korporasi serta pembayaran utang luar negeri. 

Jadi, ketika Bank Indonesia (BI) masih belum menunjukkan respon moneter yang memadai seperti intervensi pasar atau sinyal kenaikan bunga, tekanan pada rupiah bakal semakin besar pada bulan-bulan mendatang.

 "Korporasi bisa memajukan jadwal pembelian valas mereka [frontloading] yang dapat mengakibatkan tekanan lanjutan pada nilai tukar," jelas Satria.

(rui/evs)

No more pages