Namun konsekuensinya, obligasi tanpa jaminan pemerintah lebih berisiko dibanding obligasi jaminan pemerintah. "Risikonya sama seperti obligasi korporasi lainnya," ujar Fikri, Rabu (17/1/2024).
Setali tiga uang, Chief Dealer Fixed Income Bank Negara Indonesia (BNI) Fudji Rahardjo mengungkapkan, obligasi BUMN tanpa jaminan pemerintah tetap memiliki risiko.
“Risiko gagal bayar (default) memang ada, terlebih pada perusahaan BUMN yang sektornya sedang cukup berat kinerjanya. Di sinilah peran dari pemeringkat kredit rating untuk dapat memberikan kredit rating yang sesuai,” kata Fudji saat dihubungi, Rabu (17/1/2024).
Prospek 2024
Namun, karena pemerintah memiliki saham BUMN, maka ini mendorong kementerian BUMN memiliki tanggung jawab, setidaknya mengawasi penerbitan obligasi oleh perusahaan BUMN.
Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bursa Efek Indonesia perlu mengawasi secara ketat penerbitan obligasi BUMN tersebut.
Adapun risiko penerbitan obligasi pemerintah tahun 2024 diharapkan lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya seiring dengan tren suku bunga, pertumbuhan ekonomi, dan faktor lainnya.
“Harapannya (tahun ini) tidak ada yang kembali default,” tutur Fudji.
Fikri menambahkan, obligasi jatuh tempo tahun ini sekitar Rp130 triliun hingga Rp150 triliun. Umumnya, emiten obligasi kembali menerbitkan instrumen serupa untuk melunasi bagian yang jatuh tempo.
Ditambah dengan sentimen dari penurunan suku bunga the Fed dan Bank Indonesia (BI), maka hal tersebut berpotensi menambah jumlah emisi yang diterbitkan sepanjang tahun ini.
"Namun, tahun ini adalah tahun pemilu, jadi penerbit obligasi kemungkinan agak sedikit menahan diri," kata Fikri.
"Jadi, saya pikir masih akan naik, tapi mungkin kenaikan penerbitannya tidak ekpansif seperti di 2018 atau 2019 saat iklim investasi sudah membaik, sambung Fikri.
(mfd/dhf)