Bukan cuma itu, data China hari ini yang melaporkan situasi pertumbuhan ekonomi terkini masih menyisakan kekhawatiran bagi pasar. China memang berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi sesuai target pada kuartal IV-2023 lalu di angka 5,3%. Namun, tekanan deflasi di negeri itu terus berlanjut ditambah krisis properti yang masih belum terlihat reda. Stimulus lanjutan untuk membangkitkan roda ekonomi Negeri Panda masih menjadi harapan besar.
Dalam lanskap global yang masih kurang baik itu dan menekan pasar keuangan domestik serta semakin menyeret rupiah yang sudah kehilangan 1,6% nilainya bila dibanding posisi penutupan akhir tahun, akankah BI mengeluarkan sinyal hawkish lebih lanjut mengingat sejauh ini kenaikan bunga adalah untuk menyokong rupiah.
Sejauh ini BI melontar sinyal akan mempertahankan bunga di 6% setidaknya sampai semester 1-2024 sebelum mengkaji potensi penurunan bunga. Namun, dengan perkembangan baru saat ini, akankah higher for longer bagi BI akan berlangsung lebih panjang?
Konsensus pasar sejauh ini juga memperkirakan BI rate masih akan ditahan lagi di 6% terutama karena rupiah yang masih hadapi risiko pelemahan. Sedangkan di sisi lain, tingkat permintaan domestik sudah semakin melemah yang merupakan imbas langsung pengetatan moneter yang sudah berlangsung sejak Agustus 2022 lalu.
Pada RDG terakhir Desember lalu, BI memandang bunga Fed funds rate sudah menyentuh puncak dan akan berangsur turun pada tahun ini. Namun, prediksi BI cenderung lebih konservatif bahkan dibanding dot plot The Fed sendiri.
Dalam perhitungan BI, The Fed baru akan menurunkan bunga pada semester II-2024 sebanyak 50 bps, lebih rendah dibanding prediksi pasar yang mencapai 150 basis poin. Perkiraan itu didasarkan pada analisis fundamental perekonomian AS yang sampai saat ini masih terlihat lebih kuat ketimbang prediksi.
(rui)