“Makanya, kita harus segera mempercepat program transisi konversi ke listrik supaya enggak kebanyakan tergantung sama minyak. Kalau listrik kan enggak usah disubsidi,” ujarnya ditemui di kantor Kementerian ESDM, belum lama ini.
Arifin kembali menggarisbawahi harga Pertalite baru bisa turun jika minyak dunia terpelanting ke level US$60/barel. “Sekarang harga [minyak] masih [sekitar] US$79/barel. Itu nanti ekuilibriumnya kan harus sama harga minyak tertentu dan kursnya juga tertentu. Nah itu yang nanti akan menjadi pembahasan di Kementerian Keuangan.”
Untuk diketahui, pemerintah mematok kuota Pertalite pada 2024 hanya sebanyak 31,7 juta kiloliter (kl) atau turun dari penetapan tahun lalu sejumlah 32,56 juta kl.
Menurut catatan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), realisasi penyaluran bensin RON90 itu hanya mencapai sekira 30 juta kl pada 2023. Dengan demikian, alokasi Pertalite tahun ini sebenarnya masih lebih besar dari akumulasi serapan tahun lalu.
BBM Nonsubsidi Juga Sulit Turun
Tidak hanya harga Pertalite yang kemungkinan tidak akan direvisi tahun ini, harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi pun diproyeksi hanya memiliki peluang tipis untuk bisa kembali turun untuk bulan keempat berturut-turut pada Februari 2024. Namun, setidaknya, sulit terjadi kenaikan pada bulan depan.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan rata-rata harga minyak pada awal Januari tahun ini masih tidak jauh berbeda dengan rerata pada Desember 2023.
“Selain itu, melihat pergerakan nilai tukar rupiah yang juga tidak jauh berbeda, kami menilai kemungkinan harga BBM nonsubsidi pada Februari masih akan stabil dari level saat ini,” ujarnya saat dihubungi.
Kendati demikian, kata Josua, jika penurunan harga minyak berlanjut sepanjang Januari, masih ada peluang harga BBM akan kembali turun pada bulan depan.
Di tingkat global, Josua mengatakan sentimen pelemahan ekonomi global berdampak lebih besar dibandingkan dengan faktor lain dalam memicu kemungkinan penurunan harga minyak dunia.
Beberapa negara ekonomi raksasa dunia, seperti China, mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sehingga menurunkan permintaan terhadap minyak dunia dan mendorong pelemahan harga minyak.
Meskipun demikian, lanjutnya, volatilitas harga minyak diproyeksikan masih akan tinggi sejalan dengan konflik di negara-negara Timur Tengah, yang berpotensi memengaruhi arus suplai apabila konflik tersebut meluas dan melibatkan negara-negara penghasil minyak besar seperti Iran.
“Kami memperkirakan harga minyak pada triwulan I-2024 dapat berada di kisaran US$75—US$80-an per barel. Kami melihat potensi minyak akan terjaga di level tersebut karena harga tersebut dibutuhkan bagi negara-negara OPEC untuk menjaga kesehatan fiskal mereka,” terang Josua.
Namun demikian, dia juga berpendapat masih ada sejumlah faktor yang dapat menjadi downside maupun upside risk terhadap harga minyak pada awal 2024.
Beberapa faktor yang dapat menjadi downside risk adalah kemungkinan hard landing dari ekonomi China sehingga melemahkan permintaan secara global.
Adapun, faktor-faktor yang dapat menjadi upside risk adalah eskalasi dan perluasan konflik di Timur Tengah serta pemangkasan produksi lebih lanjut dari negara-negara utama penghasil minyak.
--Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan
(wdh)