Logo Bloomberg Technoz

Namun, tidak butuh waktu lama juga ketika optimisme itu kempis menyusul berbagai data ekonomi yang dirilis, memperlihatkan masih kuatnya pasar tenaga kerja berikut lonjakan inflasi pada Desember lalu. Belum lagi berbagai pernyataan pejabat The Fed yang berupaya menurunkan ekspektasi pasar agar tidak terlalu optimistis. 

Yang termutakhir adalah tadi malam. Pernyataan Gubernur The Fed Christoper Waller yang secara gamblang menepis tidak adanya urgensi bagi bank sentral paling berpengaruh itu untuk memangkas bunga terlalu cepat atau secara reaktif seperti yang terjadi di masa lalu. "Dengan aktivitas ekonomi dan perkembangan pasar tenaga kerja, juga inflasi turun perlahan menuju 2%, saya tidak melihat ada alasan untuk menurunkan bunga secepat di masa lalu," jelasnya.

Christopher Waller (Sumber: Bloomberg)

Pernyataan ini menjadi statemen paling gamblang dari pejabat The Fed yang mengingatkan lagi pelaku pasar pada petunjuk pemangkasan bunga seperti yang terungkap dari dot plot terakhir yang dilansir Desember lalu, yakni tiga kali pemotongan bunga acuan sebanyak 75 basis poin. Pernyataan itu sekaligus mengempiskan lebih cepat ekspektasi pasar yang semula memperkirakan penurunan bunga akan mencapai 150 basis poin tahun ini.

Di pasar swap, probabilitas penurunan FFR pada FOMC Maret nanti langsung anjlok jadi tinggal 60%, dari semula sebesar 75%. Bukan cuma itu, aksi jual pun langsung ramai berlangsung di pasar global baik di negara maju maupun pasar negara berkembang.

Semalam, pasar obligasi yang sangat sensitif dengan arah bunga, dilanda aksi jual besar. Indeks harga obligasi negara maju tergerus 0,5%, sementara di pasar negara berkembang harga obligasi turun lebih kecil 0,05%. Yield Treasury, surat utang AS, melonjak mengindikasikan tekanan jual dengan tenor acuan 10 tahun naik 13,2 basis poin ke 4,07%. Wall Street ditutup merah merona di mana indeks Dow Jones ditutup melemah hingga 0,62%.

Aset-aset di pasar negara berkembang. (Dok: Bloomberg)

Hanya 50 Bps

Dalam paparan hasil RDG siang nanti, BI akan menyampaikan asesmen terbaru Dewan Gubernur terkait kondisi pasar dan perekonomian global, termasuk terkait arah suku bunga global. 

Pada RDG terakhir Desember lalu, BI memandang bunga Fed funds rate sudah menyentuh puncak dan akan berangsur turun pada tahun ini. Namun, prediksi BI cenderung lebih konservatif bahkan dibanding dot plot The Fed sendiri.

Dalam perhitungan BI, The Fed baru akan menurunkan bunga pada semester II-2024 sebanyak 50 bps, lebih rendah dibanding prediksi pasar yang mencapai 150 basis poin. Perkiraan itu didasarkan pada analisis fundamental perekonomian AS yang sampai saat ini masih terlihat lebih kuat ketimbang prediksi.

"Yang pasti FFR sudah di puncak, tidak akan naik lagi, jadi di semester I-2024 The Fed kemungkinan masih mempertahankan bunga untuk memastikan perekonomian AS soft landing," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.

Pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan Bulan Desember 2023. (Youtube Bank Indonesia

Lebih lanjut, Perry menilai, tingkat imbal hasil Treasury, surat utang AS, akan cenderung menurun akan tetapi masih bakal di kisaran lebih tinggi sejalan dengan premi risiko jangka panjang (term-premia) terkait besarnya pembiayaan fiskal dan utang pemerintah. Ini yang diyakini masih akan menarik minat asing masuk ke pasar emerging market termasuk Indonesia.

Sampai data terakhir 11 Januari lalu, sejak awal tahun ini, posisi beli bersih asing di SBN tercatat sebesar Rp3,11 triliun, lalu di pasar saham mencetak posisi beli neto Rp5,96 triliun dan Rp7,22 triliun di SRBI. 

Animo asing yang masih besar terkait selisih imbal hasil surat utang RI dengan Amerika yang masih cukup lebar di kisaran 261 basis poin. Itu juga yang terlihat dari gelar dua kali lelang surat utang pemerintah yang mencatat animo cukup besar dari pasar.

Terakhir, lelang Surat Utang Negara yang dilangsungkan kemarin mencatat lonjakan permintaan hingga Rp67,56 triliun, naik tajam 70% dibanding lelang sebelumnya yang membukukan incoming bids Rp39,8 triliun. pemodal asing mencatatkan permintaan sebesar 18,27% dari total incoming bids atau sekitar Rp12,3 triliun. Sementara yang dimenangkan untuk para pemodal nonresiden mencapai 19,5% dari total awarded bid atau sekitar Rp4,68 triliun.

Tetap di 6%

Hasil survei pada 28 ekonom yang digelar oleh Bloomberg sampai pagi ini menghasilkan konsensus bulat bahwa BI siang nanti akan kembali mempertahankan BI rate 6%.

Yang pasti FFR sudah di puncak, tidak akan naik lagi, jadi di semester I-2024 The Fed kemungkinan masih mempertahankan bunga untuk memastikan perekonomian AS soft landing

Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia

Ketidakpastian global yang masih tinggi dan berisiko menggoyang stabilitas nilai tukar akan menjadi alasan terbesar bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan kebijakan restriktif yang sudah berlangsung sejak Agustus 2022 lalu, meski perekonomian domestik sudah semakin melambat akibat terus turunnya peredaran uang juga penurunan daya beli masyarakat.

"Pelemahan rupiah di awal tahun ini memperlihatkan kerapuhan nilai tukar di tengah prediksi pivot The Fed yang dinanti oleh pasar. Selama ini, keputusan BI menaikkan bunga acuan bertujuan untuk stabilisasi nilai tukar, bukan untuk menjinakkan tekanan inflasi," kata Tamara M. Henderson, ekonom dari Bloomberg Economist, seperti dikutip pada Selasa (16/1/2024).

Dalam pernyataan terakhir di Rapat Dewan Gubernur Desember lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo memberi sinyal cukup tegas bahwa BI akan cenderung mempertahannkan bunga acuan setidaknya sampai separuh pertama tahun ini, sembari melihat perkembangan situasi yang berpotensi mengancam stabilitas rupiah dan melonjakkan lagi inflasi tahun ini karena aktivitas importasi barang (imported inflation) dan tekanan inflasi pangan.

Bank sentral ingin memastikan sasaran inflasi 2024-2025 di angka 1,5-3,5% bisa tercapai. "Yang kami lihat adalah tercapainya sasaran inflasi dengan perkembangan nilai tukar yang stabil, probabilitas inflasi yang rendah dalam sasaran bisa semakin besar. Perkiraan kami inflasi bisa dipastikan 2,5% plus minus 1, itu bisa dipastikan di bawah 2% tapi risiko nilai tukar dan risiko-risiko lain mulai bisa kita pastikan pada semester II-2024. Jadi, bila ada ruang terbuka pada semester II-2024, itu bukan karena kami ikuti FFR, bila memang rupiah menguat lebih cepat dan inflasi lebih rendah [maka] ada saja ruang-ruang [penurunan BI Rate] terbuka," jelas Perry pada 21 Desember lalu.

(rui/aji)

No more pages