Kasus peretasan secara global terus meningkat, termasuk terjadi di Jepang. Badan kepolisian nasional (National Police Agency/NPA) Jepang mencatat kenaikan serangan siber sekitar 58% pada tahun 2022.
Lembaga ini menyatakan bahwa peningkatan peretasan akibat respon lambat usai diketahui adanya peretasan. Korban juga dianggap kurang transparan. Selain itu,
Mihoko Matsubara, kepala strategi keamanan siber di NTT Corp, perusahaan telekomunikasi Jepang, mengatakan bahwa Jepang mengalami masa-masa sulit.
“Seiring dengan meningkatnya jumlah serangan ransomware, Jepang terkena serangan Emotet lebih banyak dibandingkan negara lain pada kuartal pertama tahun 2022,” katanya, mengacu pada jenis malware yang sering disebarkan melalui email phishing.
“Jepang mengalami tahun yang sulit untuk menghadapi lebih banyak serangan siber pada industri, pemerintah, dan sektor perawatan kesehatan.”
Tidak hanya Jepang, Amerika Serikat (AS) dan banyak negara-negara pengembang teknologi kuat lainnya mengalami kasus peretasan yang sama. Ini termasuk serangan Colonial Pipeline di AS sampai kasus peretasan telekomunikasi Australia yang mengekspos data pribadi 10 juta pengguna.
Negara-negara kaya telah berulang kali tertangkap basah meremehkan kenyataan pahit dari kejahatan dunia maya macam ini, dilansir Bloomberg News, dan pada saat bersamaan para peretas mengirimkan permintaan tebusan.
Kerugian akibat kejahatan dunia digital khususnya pencurian data seluruh dunia mencapai US$4,35 juta (sekitar Rp67,4 miliar).
Kerugian akibat pelanggaran data, termasuk kasus hacking terjadi pada seluruh industri, seperti dilansir Statista, dengan sektor paling menderita adalah layanan kesehatan. Pada posisi kedua layanan keuangan.
“Setiap kebocoran data [pada layanan kesehatan] yang dilaporkan menyebabkan pihak terdampak mengalami kerugian sekitar US$10,1 juta (sekitar Rp156,5 miliar),” tulis Statista. Untuk dampak kerugian bidang keuangan mencapai US$6 juta (sekitar Rp93 miliar) atau 1,5 juta lebih banyak dari rata-rata dunia.
10 kasus kebocoran data dengan dampak paling banyak sepanjang sejarah:
- Tahun 2020 menimpa Cam4 dengan 10,88 miliar data bocor
- Tahun 2017 menimpa Yahoo dengan 3 miliar data akun bocor
- Tahun 2018 Aadhaar dengan 1,1 miliar orang terdampak
- Tahun 2022 Alibaba dengan 1,1 miliar data pengguna terdampak
- Tahun 2019 First American Financial Corporation dengan 885 juta data pengguna terdampak
- Tahun 2022 Verifications.io dengan 763 juta miliar data pengguna terdampak
- Tahun 2021 LinkedIn dengan 700 miliar data pengguna terdampak
- Tahun 2019 Facebook dengan 533 juta data pengguna terdampak
- Tahun 2014 Yahoo dengan 500 juta data akun terdampak
- Tahun 2018 Satwood dengan 500 juta data tamu dampak
*) data hingga Agustus Tahun 2023
- Dengan asistensi Jamie Tarabay, Min Jeong Lee and Takahiko Hyuga.
(fik/wep)