Selain itu, simpanan berjangka di bank juga melambat dengan pertumbuhan hanya 4,9% dari tadinya 6,5%, lalu tabungan lain di bank melanjutkan penurunan tajam hingga -5,4% dari tadinya -4%. Sementara giro valas hanya tumbuh 9,6%, anjlok dari semula tumbuh 20% pada Oktober.
Peredaran uang yang terus menyusut bisa mengarah pada deflasi, di mana kekurangan jumlah uang beredar menyebabkan daya beli masyarakat menjadi turun. Ini yang terlihat dari indikator inflasi inti di mana pada Desember lalu angkanya semakin kecil di 1,8% year-on-year, terendah sejak pandemi Covid-19 mereda akhir 2021 lalu.
Daya beli yang yang terlihat makin rendah itu sudah berimbas pada kinerja penjualan ritel. Penjualan ritel riil November melambat dengan pertumbuhan hanya 2,1% year-on-year, lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya yang 2,4%. Sedangkan secara bulanan, kinerja penjualan ritel pada November 2023 hanya tumbuh 0,2%, turun tajam dari sebesar 3,2% month-to-month di Oktober.
Perlambatan penjualan ritel diprediksi masih akan berlanjut pada Desember di mana perkiraannya hanya tumbuh 0,1% year-on-year, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya 2,1%.
Bahkan berdasarkan hasil survei BI, penjualan eceran dalam tiga hingga enam bulan ke depan, yaitu pada Februari dan Mei 2024, diperkirakan menurun. Indeks Ekspektasi Penjualan pada Februari 2024 turun tajam yaitu dari 139,1 pada Oktober, menjadi 115,1 pada November. Indeks ini mengukur perkiraan responden terhadap kinerja penjualan eceran tiga bulan nanti di mana itu bertepatan dengan jadwal Pemilu dan Pilpres 2024.
Sementara itu, Indeks Ekspektasi Penjualan 6 bulan ke depan yakni pada Mei 2024 juga turun ke posisi 132,7 dari posisi 146,1 pada bulan Oktober.
Butuh 'Pelumas'
Daya beli lesu karena peredaran uang yang makin seret membutuhkan 'pelumas' agar konsumsi domestik yang menjadi motor utama pertumbuhan bisa kembali kencang berputar.
Stimulus yang dikucurkan selama ini relatif terbatas hanya menyentuh kelompok bawah agar tidak semakin terpuruk. Namun, kelompok menengah sepertinya tidak banyak mendapatkan sokongan padahal kelas ekonomi ini juga terdampak dan efeknya besar pada pertumbuhan ekonomi mengingat posisinya selama ini sebagai motor utama penggerak perekonomian.
Gelar Pemilu dan Pilpres 2024 yang tinggal sebulan lagi juga belum terlihat membawa dampak signifikan pada perputaran roda ekonomi. Mengacu pada kajian yang pernah dilansir oleh LPEM Universitas Indonesia, belanja seputar kebutuhan kampanye pemilu secara historis akan meningkatkan jumlah uang beredar sepanjang triwulan penyelenggaraan pemilu.
Kecuali yang terjadi pada 2009 di mana pertumbuhan uang beredar tercatat lebih rendah pada tahun pemilu 2009 karena efek high-base pada satu triwulan sebelum pemilu.
Kajian yang sama mencatat, berkaca pada data historis Produk Domestik Bruto (PDB) mulai 2010, terlihat ada pertumbuhan konsumsi LNPRT (Lembaga Non-Profit yang melayani Rumah Tangga) secara konsisten mencapai puncak pada tahun-tahun pemilu.
"Peningkatan ini dapat disebabkan oleh kenaikan belanja partai politik untuk kampanye sepanjang tahun pemilu dibandingkan dengan tahun-tahun non-pemilu. Namun, lonjakan ini hanya bersifat sementara. Konsumsi kemudian turun secara signifikan setelah pemilu. Selain itu, rata-rata kontribusi konsumsi LNPRT terhadap perekonomian secara keseluruhan relatif terbatas, hanya menyumbang 2% dari total PDB pada tahun 2022," jelas Teuku Riefky, ekonom LPEM UI dalam kajian yang dirilis November lalu.
Sementara di sisi lain, upaya pemerintah mengucurkan berbagai program bantuan sosial dan perlindungan sosial yang digeber sejak September lalu, sejauh ini terlihat masih berdampak terbatas pada menahan konsumsi kelompok terbawah agar tidak makin 'nyungsep'.
Sementara pada kelompok menengah yang tidak tersentuh bansos sejauh ini memperlihatkan situasi lebih runyam seperti yang terlihat dari hasil survei konsumen terakhir yang dirilis oleh Bank Indonesia.
Indeks Keyakinan Konsumen pada Desember tercatat hanya tumbuh positif di kelompok pengeluaran terbawah Rp1 juta-Rp2 juta sebesar 4,3 poin, sementara empat kelompok pengeluaran lain di atas Rp2 juta mencatat kontraksi. Penurunan terdalam dicatat oleh kelompok pengeluaran menengah Rp3,1 juta-Rp4 juta hingga 2,8 poin.
Kelompok pendapatan bawah mencatat kenaikan di hampir semua indikator, mulai dari Indeks Penghasilan Saat Ini dan Ketersediaan Lapangan Kerja (yang menjadi komponen Indeks Ekonomi Saat Ini), juga kenaikan Indeks Ekspektasi Konsumen yang mengukur keyakinan masyarakat terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan. Kelompok bawah hanya mencatat kontraksi atau penurunan pada Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja.
Sebaliknya terjadi di kelompok menengah dan di atasnya. Hampir semua indikator mencatat penurunan terutama Indeks Kondisi Ekonomi yang turun di semua kelompok pengeluaran Rp2,1 juta ke atas. Sementara Indeks Ekspektasi Ekonomi turun terdalam di kelompok pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta. Kelompok ini juga yang paling pesimistis terhadap prospek penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja ke depan.
Hasil survei yang sama menunjukkan rata-rata proporsi pendapatan konsumen yang digunakan untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) menurun 1 poin persentase yakni dari 75,3% pada November menjadi 74,3% pada bulan berikutnya. Sedangkan alokasi pendapatan untuk utang naik 0,7 poin dan tabungan juga naik 0,3 poin.
Hampir semua kelompok pengeluaran mencatat tren serupa namun penurunan konsumsi terbesar terjadi di kelompok menengah atas dengan pengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta yang turun 1 poin dan kelompok dengan pengeluaran di atas Rp5 juta yang turun 1,4 poin.
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira menilai, pemerintah sebenarnya masih bisa berbuat lebih banyak agar daya beli masyarakat tidak terus terkikis. "Pemerintah perlu melakukan relaksasi seperti menurunkan tarif PPN [Pajak Pertambahan Nilai] dari 11% saat ini kembali jadi 10%, kemudian juga memastikan harga pangan terutama beras bisa lebih rendah," kata Bhima.
(rui/aji)