Inversi yield yang terjadi saat ini, mencapai 106 basis poin (bps), adalah yang terlebar sejak 1981. Kala itu, The Fed dipimpin oleh Paul Volcker yang menaikkan suku bunga acuan atas nama pengendalian inflasi dan akhirnya menyeret AS ke jurang resesi.
Gejala dan dinamika serupa terlihat saat ini, menurut Ken Griffin CEO dan pendiri Citadel, hedge fund kelas kakap.
“Kita harus bersiap untuk menghadapi resesi”
Ken Griffin, CEO and Founder Citadel
“Kita harus bersiap untuk menghadapi resesi,” katanya dalam wawancara di Florida, seperti dikutip Bloomberg News, Rabu (8/3/2023).
Yield US Tresury bertenor lebih panjang gagal mempertahankan jarak yang semestinya dengan yield surat utang bertenor lebih pendek, menciptakan inversi kurva yang selama beberapa dekade telah menjadi peringatan antisipasi resesi menyusul kebijakan moneter agresif bank sentral.
Kemerosotan ekonomi bisa terjadi lebih cepat dengan sinyal dari pernyatan terakhir Powell yang menegaskan bahwa bank sentral tidak akan menahan diri dari kenaikan bunga hingga 50 bps menyusul inflasi yang masih 'keras kepala' di negeri itu. Kenaikan bunga The Fed sebesar 25 bps pada Februari lalu menjadi yang terkecil sejak hari-hari di mana agresivitas The Fed dimulai.
Para pelaku pasar menaikkan kemungkinan kenaikan bunga acuan sebesar 50 bps pada 22 Maret nanti dari 1 banding empat menjadi dua banding tiga, seiring dengan penantian atas data terbaru pasar tenaga kerja di Amerika yang akan dirilis Jumat ini dan indeks harga konsumen setelahnya.
“Volatilitas bunga akan terus kita hadapi sampai The Fed selesai,” kata George Goncalves, Head of US Macro Strategy MUFG.
Pemodal Lepas Saham
Pasar saham AS terperosok aksi jual dan memperpanjang tekanan selama sebulan terakhir di mana Indeks S&P 500 mencatat penurunan 1,5% pada perdagangan kemarin, penurunan terbesar dalam 2 pekan terakhir. Sebelumnya indeks mencatat kenaikan hingga lebih dari 6% pada Januari lalu menyusul harapan bahwa puncak bunga The Fed sudah dekat.
Indeks dolar AS juga terus menguat seiring langkah pemodal menjadikannya safe haven sementara di tengah tajamnya volatilitas dan ketidakpastian di pasar.
Beberapa pelaku pasar berpandangan resesi bisa dihindari bahkan ketika pertumbuhan ekonomi melambat. Surat utang AS bertenor lebih panjang bisa menjadi safe haven sementara yang layak seiring langkah The Fed mengerek bunga.
Yield US Treasury bertenor pendek menjadi yang paling rentan terhadap repricing yang lebih tinggi terutama bila laju kenaikan upah tenaga kerja terus naik, menurut Ed Al Hussainy, Rates Stategist Columbia Threadneedle Investment.
Rupiah Semakin Tak Berdaya
Ketakutan pelaku pasar membuat dana pemodal pergi dari aset-aset di pasar negara berkembang dan beralih ke safe haven terbaik saat ini: dolar AS. Nilai tukar rupiah terperosok ke level terlemah sejak dua bulan terakhir di posisi 15.446US$, pada pukul 11:43 WIB. Rupiah tak sendiri karena dolar AS mengalahkan hampir semua mata uang yang menjadi lawan di seluruh dunia.
Pemodal juga angkat kaki dari pasar utang terlihat dari tekanan jual yang terus berlangsung di pasar Surat Utang Negara (SUN) telah mengungkit yield obligasi negara. Yield SUN tenor 10 tahun bertengger di 7,049%. Dana asing hengkang dari pasar SUN selama Februari senilai hampir US$ 500 juta selama Februari, menandai arus modal keluar pertama sejak Oktober tahun lalu, menurut catatan Bloomberg.
"Tekanan jual akan semakin bertambah di pasar utang domestik dengan yield SUN 10Y akan mengarah ke level 7,1% serta rupiah berpotensi untuk melanjutkan pelemahan ke level Rp 15.370/US$ hari ini," kata Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Prayadi.
Adapun di pasar saham, pemodal juga melepas posisi dengan mencetak net sell selama tiga hari berturut-turut sejak pekan lalu. Kemarin, investor asing mencatat penjualan bersih Rp 377,92 miliar, setelah jual bersih total Rp 856,95 miliar dalam dua hari. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah di posisi 6.733,52 pada perdagangan Sesi I dan diprediksi akan lanjut tertekan aksi jual pada Sesi II.
(rui/aji)