Logo Bloomberg Technoz

Secara keseluruhan, Celios melaporkan sebanyak 90% provinsi di Indonesia belum memiliki kesiapan transisi energi yang memadai.

"Sementara itu, sekitar 70% atau 24 provinsi berstatus 'Sedang', dan sekitar 20% atau 7 provinsi berstatus 'Rendah'," tulis CELIOS dalam laporannya, dikutip Selasa (16/1/2024).

Salah satu indikator dalam menetapkan skor dan posisi tersebut yakni ketahanan perekonomian masing-masing provinsi yang kuat, inisiatif energi bersih yang proaktif, dan kapasitas pemerintah yang cenderung lebih efisien dibandingkan dengan provinsi lain.

Sementara itu, wilayah yang memiliki skor terendah disebabkan dengan keterbatasan sumber daya ekonomi, rendahnya penerapan inisiasi energi bersih, dan permasalahan tata kelola pemerintahan yang berkontribusi terhadap tantangan-tantangan tersebut.

Celios setidaknya merangkum beberapa faktor yang dapat memengaruhi kesiapan daerah-daerah di Indonesia dalam melakukan transisi energi.

Beberapa faktor tersebut yakni; pengaruh konsumsi per kapita, keterkaitan kerentanan iklim dengan kesiapan transisi energi, dan keterlibatan perempuan dalam transisi energi.

Gambaran kesiapan transisi energi di Indonesia./dok. Celios

Pengaruh Konsumsi Per Kapita

Dalam laporannya, Celios mengungkapkan bahwa daerah-daerah dengan tingkat konsumsi per kapita yang lebih tinggi menunjukkan kesiapan yang lebih besar untuk menerima dan melaksanakan rencana transisi energi.

Hal itu disebut menunjukkan bahwa sumber daya finansial dan kemakmuran memainkan peran penting dalam mempersiapkan kota-kota untuk beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

"Namun, perlu dicatat bahwa korelasi ini tidak mutlak dan tidak menunjukkan hubungan kausalitas, apakah konsumsi per kapita menyebabkan peningkatan kesiapan transisi energi atau sebaliknya," tulis laporan tersebut.

Celios menggarisbawahi salah satu penjelasan logis soal hubungan antara konsumsi per kapita dengan kesiapan transisi energi daerah yakni sumber daya yang lebih 'kaya', yang dinilai memiliki kemampuan finansial untuk berinvestasi dalam infrastruktur EBT.

Keterkaitan Kerentanan Iklim dengan Kesiapan Transisi Energi

Selain itu, laporan tersebut menunjukkan makin tinggi tingkat kerentanan iklim dan lingkungan di suatu kota, makin baik pula kesiapan kota tersebut dalam melakukan transisi energi.

Penyebabnya, lapor Celios, kerentanan iklim dan lingkungan seringkali meningkatkan kesadaran masyarakat dan pemimpin politik tentang perubahan iklim.

"Keterlibatan ini pada akhirnya dapat mendekatkan masyarakat kepada kesiapan dan Keterbukaan terhadap ide transisi energi."

Dengan kata lain, makin tinggi tingkat kerentanan iklim dan lingkungan pada suatu wilayah, makin besar pula kesadaran masyarakat untuk segera melakukan tindakan, seperti beralih pada sumber energi yang lebih bersih, terbarukan, dan berkelanjutan. 

Lalu, daerah-daerah yang rentan terhadap perubahan iklim dan lingkungan memahami bahwa bencana terkait dapat menimbulkan dampak buruk terhadap perekonomian dan infrastruktur.

Suasana gedung diselimuti kabut polusi saat sore hari di Jakarta, Kamis (24/8/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)


Keterlibatan Perempuan

Sejatinya, pengakuan terhadap urgensi keterlibatan perempuan dalam urusan lingkungan, iklim, ataupun energi telah dibuktikan secara ilmiah sejak 1970-an melalui konsep ekofeminisme.

Ekofeminisme merupakan suatu paham tentang keterkaitan antara perempuan dan alam semesta, terutama dalam ketidakberdayaan dan ketidakadilan perlakuan kepada kedua entitas tersebut.

Dalam laporannya, Celios mengungkapkan bahwa makin tinggi keterlibatan perempuan dalam kegiatan dan rapat koordinasi masyarakat setempat perihal iklim dan lingkungan, makin besar pula tingkat kesiapan kota atau wilayah tersebut untuk menjalankan transisi energi.

Berdasarkan data Angkatan Kerja 2020 Badan Pusat Statistik (BPS), perempuan di Indonesia mendominasi pekerjaan di sektor berkaitan erat dengan iklim dan energi, yaitu sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.

Sektor-sektor tersebut setidaknya menyerap sebanyak 13,79 juta pekerja perempuan, baik itu di tingkat kota maupun pedesaan. Penyerapan di sektor tersebut juga menjadi yang terbesar dibandingkan sektor lain, mencapai 27,2% dari total pekerja perempuan.

"Statistik tersebut mengartikan bahwa perempuan Indonesia memiliki hubungan erat dengan sektor-sektor pekerjaan yang terdampak langsung oleh perubahan iklim maupun transisi energi."

Transisi Energi di Indonesia

Indonesia sendiri saat ini tengah berambisi untuk memaksimalkan pemanfaatan energi bersih. Hal itu didukung dengan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) dalam sistem kelistrikan nasional ditargetkan dapat mencapai 23% hingga 2025 mendatang.

Namun, target tersebut tampaknya masih belum seperti yang diharapkan oleh pemerintah saat ini. Hal itu terbukti dengan target bauran yang masih jauh panggang dari api.

Kementerian ESDM mencatat, hingga 2023, bauran EBT sistem kelistrikan nasional baru mencapai 13,1% atau masih jauh dari target tersebut, dengan sisa waktu yang tak lama lagi.

Pada 2023, Kementerian ESDM mencatat penambahan kapasitas terpasang pembangkit EBT sebesar 539,52 MegaWatt (MW). Penambahan kapasitas itu  berasal dari PLTS Terapung Cirata 192 MW; PLTP Sorik Marapi Unit 4 39,6 MW; PLTM Tongar 6,5 MW; dan PLTB PT Pasadena Biofuels Mandiri 3,9 MW.

Secara total, kapasitas terpasang pembangkit EBT 2023 sebesar 13.155 MW, melalui sumber energi air sebesar 6.784,2 MW, PLT Bioenergi 3.195,4 MW, PLT Panas Bumi 2.417,7 MW, PLT Surya 573,8 MW.

Lalu, kapasitas dari PLTB sebesar 154,3 MW dan PLT Gas Batubara sebanyak 30 MW.

(ibn/wdh)

No more pages