Logo Bloomberg Technoz

Minat investor asing ke pasar keuangan domestik sejauh ini masih belum stabil di mana pada pekan pertama asing mencetak posisi beli bersih, terutama di pasar pendapatan tetap. Namun, memasuki pekan kedua, animo itu turun sehingga pemodal nonresiden mencatat posisi jual bersih hampir Rp2 triliun di mana asing banyak melepas surat berharga negara dan sekuritas BI.

Pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan Bulan Desember 2023. (Youtube Bank Indonesia

Selisih imbal hasil Indonesia dengan Amerika sejauh ini masih terjaga di kisaran 266 basis poin, masih lebih lebar dibandingkan yield spread negeri jiran seperti Filipina yang hanya 215 basis poin, atau Malaysia yang bahkan mencatat negative spread -19 basis poin. Bahkan Thailand mencatat selisih negatif -131 basis poin.

Namun, Indonesia masih kalah bila dibanding India di mana selisih imbal hasil Negeri Bollywood itu dengan AS mencapai 315 basis poin. Semakin sempit selisih imbal hasil mempengaruhi selera berinvestasi pemodal global di pasar karena akan turut memperkecil tingkat keuntungan yang bisa dikantongi.

Sampai data terakhir yang dilansir oleh Bank Indonesia pekan lalu sampai setelmen transaksi pada 11 Januari, pemodal asing di Indonesia mencatat posisi beli bersih di Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp3,11 triliun, lalu di pasar saham mencetak posisi beli neto Rp5,96 triliun dan Rp7,22 triliun di Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI). 

Inflasi Indonesia sejauh ini juga sudah jinak meski pada dua bulan terakhir tahun lalu terlihat merangkak naik akibat lonjakan harga pangan. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun lalu di 2,61% terbilang rendah, bahkan sedikit di bawah titik tengah target BI tahun lalu di 2%-4%.

Inflasi inti bahkan terperosok semakin rendah di bawah target BI di 2%, tepatnya di posisi 1,8%, mengindikasikan adanya tekanan daya beli di tengah masyarakat yang bisa mengancam kinerja pertumbuhan ekonomi mengingat konsumsi domestik kini menjadi motor utama pertumbuhan.

Ekonomi Tertekan

Dalam pernyataan terakhir di Rapat Dewan Gubernur Desember lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo memberi sinyal cukup tegas bahwa BI akan cenderung mempertahannkan bunga acuan setidaknya sampai separuh pertama tahun ini, sembari melihat perkembangan situasi yang berpotensi mengancam stabilitas rupiah dan melonjakkan lagi inflasi tahun ini karena aktivitas importasi barang (imported inflation) dan tekanan inflasi pangan.

Bank sentral ingin memastikan sasaran inflasi 2024-2025 di angka 1,5-3,5% bisa tercapai. "Yang kami lihat adalah tercapainya sasaran inflasi dengan perkembangan nilai tukar yang stabil, probabilitas inflasi yang rendah dalam sasaran bisa semakin besar. Perkiraan kami inflasi bisa dipastikan 2,5% plus minus 1, itu bisa dipastikan di bawah 2% tapi risiko nilai tukar dan risiko-risiko lain mulai bisa kita pastikan pada semester II-2024. Jadi, bila ada ruang terbuka pada semester II-2024, itu bukan karena kami ikuti FFR, bila memang rupiah menguat lebih cepat dan inflasi lebih rendah [maka] ada saja ruang-ruang [penurunan BI Rate] terbuka," jelas Perry pada 21 Desember lalu.

Dalam perhitungan BI, The Fed baru akan menurunkan bunga pada semester II tahun depan sebanyak 50 bps, lebih rendah dibanding prediksi pasar. Perkiraan itu didasarkan pada analisis fundamental perekonomian AS yang sampai saat ini masih terlihat lebih kuat ketimbang prediksi. 

"Yang pasti FFR sudah di puncak, tidak akan naik lagi, jadi di semester I-2024 The Fed kemungkinan masih mempertahankan bunga untuk memastikan perekonomian AS soft landing," kata Perry.

Persoalannya adalah perekonomian domestik sudah menunjukkan tanda perlambatan yang semakin jelas. Daya beli masyarakat terlihat semakin melemah terindikasi salah satunya dari kinerja penjualan eceran. Penjualan ritel riil November melambat dengan pertumbuhan hanya  2,1% year-on-year, lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya yang 2,4%. Sedangkan secara bulanan, kinerja penjualan ritel pada November 2023 hanya tumbuh 0,2%, turun tajam dari sebesar 3,2% month-to-month di Oktober. 

Ilustrasi Supermarket (Sumber: Dimas Ardian/Bloomberg)

Perlambatan penjualan ritel diprediksi masih akan berlanjut pada Desember di mana perkiraannya hanya tumbuh 0,1% year-on-year, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya 2,1%. 

Indikasi lain keketatan juga terlihat dari melambatnya pertumbuhan uang beredar dalam dua bulan berturut-turut. Pada November lalu, jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) tercatat hanya tumbuh 3,3%, lebih kecil dibanding Oktober sebesar 3,4%.

Perlambatan pertumbuhan uang beredar itu terutama karena pertumbuhan melambat uang kartal di luar bank umum dan BPR yang hanya naik 6,3% dari tadinya 6,7%. Begitu juga uang kuasi juga mencatat penurunan tajam, hanya tumbuh 4,9% dari 7,9% di bulan sebelumnya.

Penurunan itu terutama karena anjloknya pertumbuhan simpanan berjangka yang hanya naik 4,9% dari 6,5%, lalu tabungan lainnya di bank juga turun semakin tajam -5,4% dari tadinya -4%. Sedangkan giro valas juga hanya tumbuh 9,6%, anjlok dari semula tumbuh 20% pada Oktober.

Peredaran uang yang semakin susut itu sudah berlangsung sejak Oktober lalu tepatnya ketika BI secara tak terduga menaikkan bunga acuan jadi 6% akibat tekanan yang dihadapi rupiah yang telah menyentuh Rp16.000/US$.

Langkah BI pada akhirnya menjadi simalakama dengan 'mengorbankan' pertumbuhan ekonomi demi menjaga rupiah tetap stabil. 

(rui/aji)

No more pages