“Data ekonomi terbaru lebih kuat dari dugaan, yang menunjukkan suku bunga kemungkinan akan lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Jika data yang ada mendukung untuk (kebijakan moneter) yang lebih ketat, maka kami siap untuk mempercepat laju kenaikan suku bunga,” tegas Powell dalam paparan di hadapan Komite Perbankan Senat, sebagaimana diwartakan Bloomberg News.
Pasar pun bereaksi. Mengutip CME FedWatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebanyak 50 basis poin (bps) ke 5-5,25% dalam rapat The Fed 22 Maret 2023 mencapai 76,4%. Peluang kenaikan 25 bps kini lebih rendah yakni 23,6%.
Perkembangan ini menjadi angin segar bagi dolar AS. Pada pukul 11:03 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama dunia) berada di 105,834. Naik 0,2% dan menjadi yang tertinggi sejak 30 November tahun lalu.
Oleh karena itu, tekanan tekanan terhadap rupiah diperkirakan masih akan berlanjut seiring kebijakan moneter The Fed yang tetap hawkish. Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menyebut kini pasar mulai menaikkan ekspektasi puncak suku bunga (terminal rate) The Fed di 5,75%.
“Jika Fed benar-benar mengerek suku bunga 100 bps dalam 4 bulan ke depan seperti yang diprediksi pasar, maka sangat sulit bagi rupiah jika yield (imbal hasil) obligasi rupiah tidak menyesuaikan dan BI tidak menaikkan bunga sama sekali,” kata Satria kepada Bloomberg Technoz.
Menurut Satria, tekanan terhadap rupiah dari dalam negeri akan tinggi mengingat permintaan valas yang meningkat pada Mei-Juni karena impor migas, barang konsumsi, serta pembayaran dividen dan utang luar negeri.
“Jika tidak ada respons moneter yang kuat seperti intervensi pasar atau sinyal kenaikan suku bunga dari BI, maka korporasi bisa memajukan jadwal pembelian valas mereka (frontloading) yang mengakibatkan tekanan lanjutan pada nilai tukar,” kata Satria.
Tirta Citradi, Ekonom MNC Sekuritas, melihat sejatinya rupiah masih 'sehat'. Menurutnya, nilai fundamental rupiah berada di kisaran Rp 14.700-15.125/US$, lebih kuat dari level saat ini.
“Untuk saat ini, level kritis rupiah ada di kisaran Rp 15.800-16.300/US$. Namun depresiasi sampai ke sana akan sangat temporer,” katanya kepada Bloomberg Technoz.
MNC Sekuritas, tambah Tirta, melihat ada ruang bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuan 25 bps. Akan tetapi ini adalah skenario terburuk, yang terjadi jika dampak kebijakan The Fed benar-benar luar biasa dan inflasi domestik meninggi.
“Kembali ke pertanyaan sampai di titik berapa BI harus merespons dengan kebijakan suku bunga, ini yang perlu ditegaskan kembali bahwa fundamental rupiah tidak hanya bergantung kepada suku bunga. Model intervensi BI bisa sangat fleksibel. Adanya surplus neraca perdagangan yang besar, kalau itu masuk, akan menjadi tambahan likuiditas di sistem perbankan dan harusnya cukup kuat untuk menahan rupiah dari depresiasi lebih lanjut,” jelas Tirta.
(aji)