Para spekulan di pasar future mengubah posisi dan memprediksi The Fed akan mengerek 50 bps pada FOMC meeting 22 Maret nanti. Probabilitas kenaikan sebesar itu meningkat menjadi 70% di mana posisi puncak Fed Fund Rate akan berada di posisi 5,75% pada Juni hingga akhir tahun.
Macro Strategist Lionel Prayadi dan Economist Arga Samudro dalam catatan pagi untuk investor memberi peringatan, jarak yield antara US Treasury 10 tahun dengan tenor 2 tahun menjadi sangat lebar sebesar 106 bps, itu adalah gap terlebar sejak 1981.
“Perkembangan itu menandakan pasar bersiap untuk menghadapi resesi dalam beberapa kuartal ke depan”
Macro Strategist Lionel Prayadi dan Economist Arga Samudro
Situasi mencekam itu akan semakin memicu aksi jual di pasar surat utang domestik di mana yield Surat Utang Negara (SUN) diprediksi akan semakin melambung ke atas 7%. Sentimen terbaru dari AS telah melesatkan yield SUN 10 tahun ke posisi 7,039% pada pukul 9:46 WIB, tertinggi sejak 3 Januari lalu.
Samuel Sekuritas memprediksi yield SUN 10 tahun akan mengarah ke posisi 7,1% disusul nilai tukar rupiah akan semakin tertekan ke kisaran Rp 15.370 per dolar AS hari ini.
Dari dalam negeri, rupiah masih belum memiliki amunisi yang cukup untuk mengimbangi tekanan eksternal tersebut. Lelang term deposit valas Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang digelar Bank Indonesia sepekan terakhir mencatat peningkatan penawaran masuk senilai US$ 21,75 juta atau Rp 334 miliar, meningkat dari nilai penawaran pekan lalu yang cuma US$ 15 juta.
Publikasi data posisi cadangan devisa yang masih melimpah di posisi tertinggi setahun terakhir sebesar US$ 140,3 miliar seharusnya bisa cukup menenangkan pasar bahwa otoritas moneter memiliki amunisi yang memadai untuk menstabilkan rupiah dari volatilitas yang semakin tajam.
Namun, apa yang terlihat saat ini menunjukkan rupiah masih kewalahan menghadapi tekanan jual dari pelaku pasar yang semakin khawatir menghadapi ancaman kenaikan bunga The Fed.
Lelang terakhir yang digelar pemerintah kemarin (7/3/2023), juga mencatat penurunan nilai penawaran masuk dari pasar di mana para pemodal meminta imbal hasil lebih tinggi menyusul situasi terkini yang terus menggerus harga obligasi.
Menurut Lionel, secara umum demand terhadap obligasi negara masih terjaga alias stabil di tengah gejolak eksternal. Namun, ke depan, tekanan jual akan semakin intensif terutama bila BI belum memberikan respon yang memadai terkait outlook terbaru kebijakan The Fed yang bakal kembali agresif. “Kami prediksi investor akan meminta imbal hasil lebih tinggi pada lelang-lelang berikutnya,” kata dia.
(rui)