Logo Bloomberg Technoz

Sedangkan saham-saham yang melemah dan menjadi top losers antara lain PT Citra Nusantara Gemilang Tbk (CGAS) yang jatuh 24,8%, PT Sinergi Multi Lestarindo Tbk (SMLE) ambruk 24,4%, dan PT Adhi Kartiko Pratama Tbk (NICE) anjlok 24,3%.

Pada sore hari ini, sejumlah indeks saham utama Asia juga bergerak variatif (Mixed). Nikkei 225 (Tokyo) yang meningkat 1,5%, SENSEX (India) yang berhasil menguat 1,15%, Topix (Jepang) menghijau 0,46%, PSEI (Filipina) menguat 0,45%, SETI (Thailand) mencatat kenaikan 0,38%, menyusul IHSG (Indonesia) yang naik 0,29%, dan KLCI (Malaysia) terangkat 0,29%.

Pada waktu yang sama, Ho Chi Minh Stock Index (Vietnam) melemah 0,65%, Shenzhen Comp. (China) drop 0,64%, Kospi (Korea Selatan) turun 0,6%, Hang Seng (Hong Kong) kehilangan 0,35%, Straits Time (Singapura) melemah 0,3%, Weighted Index (Taiwan) jatuh 0,19%, dan Shanghai Composite (China) turun 0,16%.

Adapun Bursa saham Asia terpapar gerak mixed yang terjadi di New York. Dini hari tadi waktu Indonesia, 3 indeks utama di Wall Street finis di zona yang bervariasi.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) menetap di zona hijau dengan kenaikan 0,04% dan juga Nasdaq Composite yang naik 0,01%. Sedangkan S&P 500 melemah 0,07%.

Respons pasar terlihat masih bervariasi usai rilis data inflasi AS semalam yang tetap mencerminkan tekanan harga pada Desember yang ternyata lebih tinggi daripada perkiraan awal.

Adapun tingkat probabilitas penurunan suku bunga acuan Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Maret sempat naik lagi di angka 73% seperti terlihat di pasar swap.

US Bureau of Labor Statistics melaporkan, terjadi inflasi sebesar 3,4% year-on-year pada Desember. Lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,1% yoy. Jauh di atas perkiraan pasar di angka 3,2%.

Inflasi bulanan juga naik 0,3% dibandingkan dengan sebelumnya 0,1% pada November, juga melampaui prediksi.

Namun demikian, laju inflasi inti sedikit melambat. Pada Desember, inflasi inti berada di 3,9% yoy. Lebih rendah ketimbang November yakni 4% yoy. 

Inflasi di AS mengindikasikan masih belum bisa mengarah ke target 2% yang dicanangkan Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Loretta Mester, Presiden The Fed Cleveland, menilai data inflasi terbaru sepertinya membuat penurunan suku bunga acuan tidak bisa ditempuh dalam waktu dekat.

“Saya rasa Maret terlalu awal untuk menurunkan suku bunga. Saya pikir kami butuh lebih banyak bukti. Inflasi Desember memperlihatkan bahwa masih banyak hal yang perlu dilakukan dan salah satunya adalah kebijakan moneter yang restriktif,” terang Mester dalam wawancara dengan Bloomberg Television.

Mester menambahkan saat para pembuat kebijakan melihat lebih banyak bukti bahwa inflasi berada pada jalur yang berkelanjutan menuju 2%, “Kita akan melakukan diskusi itu,” dan ia juga mengutip ekspektasi inflasi sebagai faktor penting.

(fad/wdh)

No more pages