Dia menggarisbawahi depo Pertamina Plumpang sudah lebih dahulu ada dan lahan yang ditempati warga dikosongkan oleh Pertamina sebagai zona penyangga.
"Jangan dibalik-balik. Plumpang itu sudah dibuat di sana ada daerah kosong atau buffer zone. Jangan [depo] ini yang disuruh pindah. Orang yang tidak berhak di situ yang harus pindah," tegasnya dalam konferensi pers, Selasa (7/3/2023) di Mako Pushidrosal, Jakarta Utara.
Pendapat berbagai kalangan pun turut terpecah mengenai rencana relokasi depo Pertamina Plumpang. Banyak yang menentang, tetapi tidak sedikit pula yang mendukung rencana pemindahan objek vital tersebut.
Anggota Komisi VI Andre Rosiade menyebut langkah pemerintah merelokasi depo Pertamina Plumpang ke lahan milik Pelindo sudah tepat. Saat depo tersebut dibangun, jelasnya, kondisi kawasan sekitar sangat berbeda dengan saat ini sehingga relokasi perlu dilakukan.
"Kalau soal relokasi depo saya usulkan kepada Menteri BUMN dan pemerintah, agar depo ini dipindahkan ke Pelindo, ke New Port Pelindo di Tanjung Priok itu. Saya mendorong, mengusulkan untuk pindah ke sana ke Pelindo supaya Pertamina tidak perlu investasi tanah lagi karena kan tanahnya bisa sewa, bisa dalam bentuk kerja sama tanpa perlu investasi. Jadi Pertamina tidak perlu beli tanah, bisa menggunakan tanah itu dengan sinergi BUMN," ujarnya, Selasa (7/3/2023).
Unsur Politis
Di lain sisi, Ketua Pusat Kajian Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai kebakaran yang terjadi pada Jumat (3/3/2023) itu dipolitisasi oleh pihak yang akan bertarung di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Pihak tersebut mencoba mendulang dukungan lewat kebijakan yang seolah-olah promasyarakat marginal.
"Keputusan relokasi depo Pertamina Plumpang ini politis. Biayanya bakal lebih besar, [mencapai] triliunan rupiah, makan waktu lama, dan risikonya tinggi. Suplai BBM yang mengandalkan depo tersebut bisa tergaanggu apabila proses pemindahan tidak berjalan dengan baik," katanya ketika dihubungi oleh Bloomberg Technoz, Selasa (7/3/2023).
Selain itu, lanjutnya, secara hukum masyarakat yang berada di sekitar depo tersebut juga menyalahi aturan. Lahan yang mereka tempati merupakan lahan milik Pertamina yang seharusnya dikosongkan sebagai zona penyangga atau buffer zone.
Penyalahgunaan lahan yang mulai terjadi sejak medio 1980-an itu sulit dihentikan. Ironisnya, kata Trubus, keberadaan warga yang melakukan penyerobotan lahan itu malah diakui oleh dua Gubernur DKI Jakarta, yakni Joko Widodo (Jokowi) dan Anies Baswedan.
Dia mengelaborasi bahwa Jokowi memberikan kartu tanda penduduk (KTP) kepada 1.665 jiwa dan 715 Kartu Keluarga (KK) pada 2012. Setahun sebelumnya, saat kampanye Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta, Jokowi mendatangi warga di sekitar depo BBM Plumpang dan menjanjikan legalitas kependudukan apabila nantinya terpilih.
Demikian halnya dengan Anies Baswedan, yang ikut menyodorkan kontrak politik dari warga bila sukses memenangkan Pilgub DKI pada 15 Februari 2017. Warga di sekitar depo Pertamina Plumpang meminta Anies untuk melegalisasi kepemilikan atau penggunanan lahan karena mereka sudah menetap selama puluhan tahun.
Kontrak politik itu kemudian direalisasikan oleh Anies lewat penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sementara selama tiga tahun. Penerbitan izin tersebut disebut sebagai jalan tengah agar warga setempat mendapatkan hak dasar mereka, yakni air dan listrik.
"Bukan pertama kali juga mereka dipolitisasi. Kali ini kembali dipolitisasi. Relokasi warga adalah jalan keluar masalah ini. Asalkan jangan terlalu jauh, agar tak mengganggu pekerjaan mereka," tegasnya.
(rez/wdh)