Beberapa negara ekonomi raksasa dunia, seperti China, mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sehingga menurunkan permintaan terhadap minyak dunia dan mendorong pelemahan harga minyak.
Meskipun demikian, lanjutnya, volatilitas harga minyak diproyeksikan masih akan tinggi sejalan dengan konflik di negara-negara Timur Tengah, yang berpotensi memengaruhi arus suplai apabila konflik tersebut meluas dan melibatkan negara-negara penghasil minyak besar seperti Iran.
“Kami memperkirakan harga minyak pada triwulan I-2024 dapat berada di kisaran US$75—US$80-an per barel. Kami melihat potensi minyak akan terjaga di level tersebut karena harga tersebut dibutuhkan bagi negara-negara OPEC untuk menjaga kesehatan fiskal mereka,” terang Josua.
Namun demikian, dia juga berpendapat masih ada sejumlah faktor yang dapat menjadi downside maupun upside risk terhadap harga minyak pada awal 2024.
Beberapa faktor yang dapat menjadi downside risk adalah kemungkinan hard landing dari ekonomi China sehingga melemahkan permintaan secara global.
Adapun, faktor-faktor yang dapat menjadi upside risk adalah eskalasi dan perluasan konflik di Timur Tengah serta pemangkasan produksi lebih lanjut dari negara-negara utama penghasil minyak.
Brent untuk penyelesaian Maret naik 2,2% menjadi US$79,14 per barel pada pukul 10:50 pagi ini di Singapura. West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari diperdagangkan 2,4% lebih tinggi pada US$73,74 per barel.
(wdh)