Dalam dokumen Visi Misi paslon 1, program penyediaan daycare tercantum dalam program "Indonesia Ramah Ibu dan Anak", bersama dengan rencana pemberian cuti hamil dan melahirkan untuk ibu dan ayah. Sementara pasangan nomor urut 3, Ganjar-Mahfud, menempatkannya di bawah program "Perempuan Maju dan Anak Sejahtera" dengan rencana memperbanyak tempat penitipan anak berkualitas baik di sektor formal dan informal.
Sumbangan Ekonomi
Indonesia disangsikan bisa mewujudkan ambisi menjadi negara maju pada peringatan satu abad kemerdekaan tahun 2045 nanti, menurut penilaian banyak ekonom.
Pertumbuhan ekonomi tidak pernah jauh dari 5%, kredit perbankan tidak pernah melampaui 15% laju tahunannya, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga stagnan di 11%, bahkan hanya 9,9% dalam satu dekade terakhir. Kontribusi industri terus menurun dan kini di kisaran 18% terhadap PDB dan kemiskinan ekstrem persisten di 1,7%.
Bila menyempitkan fokus pada partisipasi perempuan di dunia kerja, sejauh ini angkanya masih mentok di 54%. Padahal peningkatan partisipasi kerja perempuan akan signifikan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia agar tidak terjebak di angka 5%.
"Indonesia telah merumuskan peta jalan komprehensif yang menguraikan strategi dan target untuk ekonomi pengasuhan. Namun, kerangka kebijakan yang didedikasikan untuk ekonomi pengasuhan anak belum ada kecuali yang terkait cuti orang tua," tulis peneliti UI Diahhadi Setyonaluri, M. Fajar Ramadhan dan Nathanael Z. H. dalam artikel "Membuka Masa Depan: Alasan Berinvestasi dalam Ekonomi Perawatan" yang dimuat di White Paper LPEM Universitas Indonesia, dipublikasikan Oktober lalu.
Tempat penitipan anak di Indonesia masih menjadi barang langka dalam artian kuantitas, kualitas juga keterjangkauan biaya. Daycare berkualitas acapkali harganya sangat mahal, begitu juga sebaliknya.
Data Kementerian Pendidikan 2023 mencatat, jumlah daycare di Indonesia hanya 2.450 unit di seluruh Indonesia, terkonsentrasi di Jawa dengan kondisi kapasitas berlebih di mana rasio guru-anak saat ini 1:9. Bandingkan dengan Australia misalnya yang rasionya 1:4. Tahun 2020, populasi anak usia 0-4 tahun mencapai 22,02 juta dan diprediksi mencapai 22,75 juta pada 2025. Sementara yang mengakses daycare baru 52.559 anak.
"Tidak adanya tempat penitipan anak membuat perempuan di Indoensia memikul tanggung jawab pengasuhan yang tidak proporsional yang akhirnya membatasi partisipasi kerja perempuan," jelas peneliti.
Peneliti menyebut, bila tingkat partisipasi kerja perempuan ditingkatkan hingga 58,3%, pertumbuhan PDB Indonesia bisa naik 0,7% di atas skenario baseline.
'Professional Complainer'
Isu daycare bagi perempuan pekerja hanyalah satu dari banyak pain point kelas menengah di Indonesia. Ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebut, keberadaan kelas menengah muncul membawa implikasi ekonomi politik di mana mereka hadir sebagai pengeluh profesional, professional complainer.
"Kelas konsumen baru yang cerewet, kritis, dengan pendapatan yang lebih baik, akan menuntut kualitas pelayanan jasa publik, kualitas barang, dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik," kata Chatib.
Maka itu, kebijakan ekonomi Indonesia di masa mendatang perlu memberi fokus lebih besar pada kelas menengah agar dapat meminimalisasi risiko gejolak sosial yang bisa berdampak buruk bagi perekonomian seperti yang terjadi di Chile pada 2019, 'Chilean Paradox' ketika gejolak sosial nyaris memicu revolusi sosial dipicu oleh kenaikan tarif transportasi publik, isu khas kelas menengah.
Negara tidak bisa hanya terfokus pada kelas atas dan kelas bawah saja. Kebijakan yang lebih adil penting didorong agar manfaat pembangunan dirasakan merata oleh semua kelas, termasuk kelas menengah yang sejauh ini terpinggirkan.
Dalam studi yang dilansir oleh peneliti UI Teguh Dartanto dan Canyon Keanu Can, melalui kajian Growth Incidence Curve (GIC) yang menggambarkan pertumbuhan kesejahteraan tiap-tiap kelompok pendapatan di Indonesia selama periode 2000-2022, memperlihatkan, pembangunan ekonomi RI selama ini hanya berat pada kelompok kaya.
Periode Presiden Megawati Soekarnoputri 2000-2004, GIC memiliki kemiringan positif di mana kelompok terkaya mengalami pertumbuhan ekonomi atau kesejahteraan dua kali lebih besar dibandingkan kelompok termiskin.
Lalu pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama, menunjukkan pola senada akan tetapi dengan pertumbuhan lebih rendah. Sedang pada periode kedua era SBY, pertumbuhan ekonomi berlangsung sangat tidak inklusif di mana kesejahteraan kelompok terkaya mencapai lebih dari 8% per tahun, tumbuh empat kali lipat lebih cepat dibanding kesejahteraan kelompok termiskin yang hanya 2% per tahun.
Sementara pada era Presiden Joko Widodo periode pertama, kelas menengah menikmati pertumbuhan ekonomi lebih besar dibandingkan dengan kelompok termiskin dan terkaya sehingga Gini Ratio bisa diturunkan jadi 0,380 pada 2019. Namun, pada periode kedua, pertumbuhan ekonomi tidak lagi inklusif di mana manfaat dari kebijakan atau program pemerintah terfokus hanya pada 20% kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas.
Pada saat yang sama, kelompok kelas menengah yang proporsinya mencapai 40%-80% dilupakan, demikian ditulis oleh peneliti. Bahkan, kelompok 60%-80% mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.
Studi yang dilansir oleh Dhiar N. Larasati dan Ranu Yulianto dari Badan Pusat Statistik, akhir tahun lalu, juga menunjukkan, kelas menengah di Indonesia masih kesulitan menikmati akses pendidikan dan teknologi, juga akses kesehatan, perlindungan sosial maupun jaminan pekerjaan. Dalam lanskap itu, kualitas hidup masyarakat kelas menengah di Indonesia sejatinya masih rendah kendati dari sisi pendapatan sudah terlepas dari jerat kemiskinan.
"Kelas menengah tidak serta merta diterjemahkan sebagai penduduk berpenghasilan aman karena masih berisiko mengalami deprivasi," demikian jelas peneliti.
Mengacu pada definisi World Bank, kelas menengah Indonesia adalah orang dengan pendapatan antara Rp1,2 juta hingga Rp6 juta per bulan. Kelas masyarakat ini tumbuh 10% per tahun selama rentang waktu 2002-2016.
Pada 2020 lalu, jumlah penghuni kelas menengah diperkirakan mencapai 52 juta orang di mana sebagian besar adalah kelas menengah-bawah. Sementara kelas yang baru di tahap menuju kelas menengah (aspiring middle class) yakni mereka yang sudah lepas dari jerat kemiskinan tapi lebih rentan dibandingkan kelas menengah di atasnya, jumlahnya jauh lebih dominan mencapai 115 juta orang.
Tekanan daya beli yang dialami masyarakat Indonesia saat ini, buntut dari ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global, pengetatan moneter dan inflasi harga pangan karena fenomena iklim, sejauh ini direspon oleh pemerintah salah satunya melalui pemberian bansos dan aneka insentif perlindungan sosial.
Namun, hal itu terlihat hanya terbatas dampaknya membantu kelas rentan dan miskin agar tidak semakin terpuruk daya beli. Sementara kelas menengah di atasnya 'dibiarkan' berjuang sendiri minim sokongan untuk merangsang permintaan baru.
Itulah yang sedikit banyak tecermin dari hasil Survei Konsumen yang dilansir oleh Bank Indonesia awal pekan ini.
Indeks Keyakinan Konsumen pada Desember hanya tumbuh positif di kelompok pengeluaran terbawah Rp1 juta-Rp2 juta sebesar 4,3 poin, sementara empat kelompok pengeluaran lain di atas Rp2 juta mencatat kontraksi. Penurunan terdalam dicatat oleh kelompok pengeluaran menengah Rp3,1 juta-Rp4 juta hingga 2,8 poin.
Kelompok pendapatan bawah mencatat kenaikan di hampir semua indikator, mulai dari Indeks Penghasilan Saat Ini dan Ketersediaan Lapangan Kerja (yang menjadi komponen Indeks Ekonomi Saat Ini), juga kenaikan Indeks Ekspektasi Konsumen yang mengukur keyakinan masyarakat terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan. Kelompok bawah hanya mencatat kontraksi atau penurunan pada Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja.
Ada dugaan optimisme yang lebih besar di kelompok bawah itu berkaitan dengan guyuran bantuan sosial yang sudah digencarkan pemerintah sejak September lalu.
Hal berbeda terjadi di kelompok menengah. Hampir semua indikator mencatat penurunan terutama Indeks Kondisi Ekonomi yang turun di semua kelompok pengeluaran Rp2,1 juta ke atas. Sementara Indeks Ekspektasi Ekonomi turun terdalam di kelompok pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta. Kelompok ini juga yang paling pesimistis terhadap prospek penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja ke depan.
Sementara menilik kondisi keuangan saat ini, hasil survei yang sama menunjukkan rata-rata proporsi pendapatan konsumen yang digunakan untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) menurun 1 poin persentase yakni dari 75,3% pada November menjadi 74,3% pada bulan berikutnya. Sedangkan alokasi pendapatan untuk utang naik 0,7 poin dan tabungan juga naik 0,3 poin.
Hampir semua kelompok pengeluaran mencatat tren serupa namun penurunan konsumsi terbesar terjadi di kelompok menengah atas dengan pengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta yang turun 1 poin dan pengeluaran di atas Rp5 juta yang turun 1,4 poin.
"Narasi keberlanjutan para calon presiden harus dipikirkan ulang. Melanjutkan berbagai kebijakan Presiden Jokowi periode kedua tanpa ada inovasi kebijakan yang bersifat out of the box akan menjauhkan mimpi Indonesia Emas 2045 karena pemerintah melupakan kelas menengah yang merupakan motor penggerak pembangunan pada jangka panjang," demikian kesimpulan peneliti UI dalam White Paper setebal 247 halaman itu.
(rui/aji)