Senada dengan hal itu, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni juga menilai bahwa seorang hakim sepatutnya paham dengan nilai-nilai konstitusi yang ada. Ia menilai bahwa penyelenggaraan pemilu sudah secara jelas diatur dalam konstitusi dan UU.
“Jadi Undang-undang Pemilu kita sudah mengatur tipologi masalah pemilu,” kata Titi dalam kesempatan yang sama.
Di sisi lain, Lili juga menganggap bahwa putusan yang dilakukan oleh hakim ini tidak terjadi pada ruang hampa, melainkan merupakan suatu benang merah terhadap wacana isu penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan Presiden yang kerap dilontarkan oleh institusi pemerintah.
“Seperti kita ketahui, wacana perpanjangan jabatan presiden dan penundaan pemilu kerap disampaikan oleh elit politik dan pimpinan lembaga negara. Baru-baru ini (juga) disampaikan oleh Bambang Soesatyo, La Nyalla, ini bukan orang biasa yang menyampaikan. Dia yang mempunyai kuasa dan kewenangan. Ketua MPR dan DPD,” kata Lili.
“Ini seperti ada by design gitu, sengaja. Jadi udah gamblang secara nyata ini. Saya kira ini perlu ada kewaspadaan unsur masyarakat untuk menyelamatkan pemilu ini,” kata Lili.
Adapun, nama-nama majelis hakim yang turut andil melakukan putusan penundaan pemilu yakni T Oyong, H Bakrie, dan Dominggus Silaban. Menurut keterangan pada situs Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, T Oyong menjabat sebagai hakim madya utama dengan golongan atau pangkat pembina utama muda (IV/C). Sedangkan Bakrie dan Dominggus menjabat sebagai hakim utama muda dengan pangkat sama dengan T. Oyong dan Dominggus yakni Pembina Utama Madya (IV/d).
Tiga hakim itu menjadi kontroversial lantaran mengabulkan seluruh gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Kamis (2/3/2023). Dalam putusan perkara perdata tingkat pertama, gugatan dikabulkan dengan putusan nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.
Poin-poin dalam putusan itu antara lain adalah menyatakan penggugat dalam hal ini Partai Prima adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat, yakni KPU. Perbuatan tergugat, karena itu dianggap sebagai perbuatan yang melawan hukum.
Dalam putusan itu KPU juga diperintahkan untuk tidak melaksanakan dan menunda sisa tahapan Pemilu 2024. Setelah itu baru bisa melakukan tahapan pemilu mulai dari awal, atau selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan 7 hari. Atas keputusan ini, KPU kemudian melakukan upaya banding.
(ibn/ezr)