"Terlihat dari daftar saham IPO tidak ada yang menarik maupun dari sisi prospek industri atau sahamnya sendiri. Kemungkinan justru akan menjadi saham gorengan," jelas Arjun, Rabu (10/1/2024).
Pasalnya, saham-saham pendatang baru tersebut memiliki kapitalisasi pasar atau market cap yang kecil. MSJA misalnya, yang memiliki market cap hanya sebesar Rp2 triliun.
Contoh lain seperti NICE, yang hanya memiliki market cap Rp3,68 triliun. "Sering kali, emiten seperti itu identik dengan saham gorengan," imbuh Arjun.
IPO Nyangkut
Saham IPO belakangan tengah menjadi sorotan. Terlebih, setelah mayoritas saham IPO di 2023 sudah kembali di bawah harga pelaksanaan IPO.
Selama periode 2023, ada 79 emiten pendatang baru. Dari jumlah ini, 51 di antaranya sudah kembali berada di bawah harga IPO. Dengan kata lain, 64% IPO 'nyangkut'.
Direktur BEI I Gede Nyoman Yetna tak menampik, ada teknis yang perlu diperbaiki, terutama soal mekanisme pembentukan harga IPO. Sehingga, IPO nyangkut bisa lebih diminimalisir.
"Kami sudah koordinasi dan kerja sama dengan Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia, kami minta bagaimana underwriter dalam hal menentukan harga penawaran itu mereka lakukan secara objektif dan kami minta ada namanya research report," ujar Nyoman, dikutip Jumat (5/1/2024).
Mekanisme Pembentukan Harga IPO
Selama ini, pembentukan harga IPO dilakukan melalui proses bookbuilding atau penawaran awal. Caranya, penjamin emisi atau underwriter yang merupakan perusahaan sekuritas mengumpulkan minat beli dari calon investor pada rentang harga yang sudah ditentukan di awal.
Misalnya, rentang harga ditetapkan di Rp100/saham hingga Rp300/saham. Investor kemudian cukup menyampaikan di harga berapa mereka ingin membeli.
Dari semua minat yang masuk, akan terbentuk kurva permintaan (demand curve). Dari kurva permintaan inilah perusahaan bersama dengan penjamin emisi akan menentukan berapa harga yang akan ditentukan sebagai harga IPO. Dengan demikian penentuan harga IPO juga ditentukan dari besarnya minat calon Investor dalam periode bookbuilding.
Sedangkan rentang harga tadi ditentukan bersama perusahaan dan penjamin emisi dari berbagai variabel, antara lain dari nilai perusahaan berdasarkan proyeksi perfoma perusahaan pasca IPO dibandingkan sebelum IPO, dari performa dan kinerja perusahaan sejenis (baik bidang dan size), dan sebagainya.
"Maka, untuk itu diperlukan analisa dan riset yang memadai yang dapat mencerminkan tidak hanya nilai perusahaan sekarang tapi juga nilai di masa mendatang," jelas Nyoman.
Perlindungan Investor
Ada celah dari tahapan pembentukan tersebut, yakni tidak adanya semacam kajian atau riset bagaimana harga terbentuk. Celah ini yang tengah diupayakan ditutup oleh BEI.
BEI akan mewajibkan penjamin pelaksana emisi efek untuk mempublikasikan equity research report atas perusahaan tercatat baru sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun, terhitung sejak IPO.
Publik kemudian dapat melihat dokumen Equity Research Report tersebut pada website Bursa.
"Pada dasarnya saat ini semua proses IPO sudah melakukan analisa dan riset itu. Namun, sebelumnya analisa dan riset hanya terbatas. Dengan kewajiban mendokumentasikan hasil analisa dan riset dalam bentuk Equity Research Report ini, diharapkan dapat menjadi rujukan yg resmi dalam menilai harga yg wajar bagi suatu saham," jelas Nyoman.
KPI BEI Perlu Diubah
Pengamat Pasar Modal Budi Friensidy mengatakan, BEI sudah mulai perlu untuk mengubah strategi untuk meminimalisir IPO nyangkut.
"Untuk BEI, jangan jadikan jumlah IPO sebagai KPI seperti selama ini," kata Budi.
Hal tersebut sejatinya sudah disampaikan kepada pemangku kepentingan terkait, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Saya sudah sampaikan ke komisioner OJK untuk sektor pasar modal dan dia bilang, akan diperhatikan kualitas tapi kuantitas juga tetap penting," ungkap Budi.
Di sisi lain, banyaknya IPO nyangkut juga bukan persoalan di regulator. Pasalnya, masih banyak investor yang hanya sekadar ikut-ikutan, tanpa mempelajari fundamental perusahaan secara seksama.
(mfd/dhf)