Bank Dunia dalam laporan setebal 230 halaman tersebut menggarisbawahi tantangan yang dihadapi oleh perekonomian di kawasan Asia, yang turut merasakan dampak dari masih lemahnya perekonomian global terutama China yang sejauh ini belum mampu bangkit.
Pada 2023, di kawasan Asia Pasifik di luar China, mayoritas mencatat perlambatan akibat penurunan kinerja perdagangan global dan diprediksi akan mencatat pertumbuhan hanya sebesar 4,4%. Prediksi itu lebih rendah dibanding sebelumnya sebesar 4,8%.
"Pertumbuhan lebih rendah itu karena penurunan perdagangan internasional, sebagian mencerminkan efek dari pelemahan ekonomi China yang mengejutkan," demikian ditulis oleh World Bank dalam paparannya yang dikutip pada Rabu (10/1/2024).
Adapun pada 2024 dan 2025, pertumbuhan ekonomi kawasan ini diprediksi lebih tinggi mencapai 4,7% di mana sebagian negara pertumbuhannya didukung oleh pemulihan industri pariwisata pascapandemi juga konsumsi dalam negeri yang kuat.
Indonesia masih bisa mengandalkan konsumsi domestik untuk mendorong perekonomian setelah kinerja ekspor masih melempem terdampak kelesuan China dan pasar global. Akan tetapi, di beberapa negara kawasan Asia pertumbuhan investasi kemungkinan masih lebih lemah, belum akan mencapai rata-rata sebelum pandemi baik pada 2024 maupun 2025.
"Hal itu mencerminkan berbagai hambatan yang dihadapi investasi swasta, termasuk dampak perlambatan akibat pengetatan moneter, ketidakpastian kebijakan—yang terkait dengan transisi pemerintahan di beberapa negara—dan peningkatan utang. Meningkatnya utang pemerintah dan berkurangnya ruang fiskal diperkirakan akan menghambat pertumbuhan investasi pemerintah," jelas Bank Dunia.
Kondisi perekonomian China yang lebih lemah ketimbang prediksi sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia karena hubungan perdagangan yang erat.
"Pertumbuhan manufaktur yang lebih lambat di Tiongkok akan menekan perdagangan pengolahan regional, khususnya di negara-negara dengan sektor ekspor terintegrasi yang besar seperti Malaysia dan Vietnam. Selain itu, eksportir komoditas di kawasan ini, termasuk Indonesia, Mongolia, Myanmar, dan Kepulauan Solomon, akan mengalami penurunan permintaan dan harga," kata Bank Dunia.
Bukan hanya faktor China, tensi yang meninggi di Timur Tengah dan mempengaruhi prospek harga komoditas termasuk minyak yang sensitif terhadap harga energi di negara-negara kawasan ini termasuk Indonesia. Selain dua hal itu, risiko lain yang membayangi prospek pertumbuhan negara berkembang Asia termasuk Indonesia adalah ancaman cuaca ekstrem sebagai buntut perubahan iklim.
Cuaca ekstrem dapat mengancam pasokan pangan juga mempengaruhi permintaan energi.
Dalam lanskap itu, kondisi keuangan global juga bisa lebih ketat ketimbang asumsi awal di mana hal itu akan mempengaruhi pula tingkat bunga di kawasan emerging market. Imbasnya juga bisa lebih jauh ke nilai tukar seperti yang sejauh ini terlihat di mana sentimen bunga The Fed sangat mempengaruhi sentimen pasar negara berkembang.
Prediksi Bank Dunia itu relatif lebih rendah dibanding Bank Indonesia dan pemerintah. Dalam acara Banker's Dinners November lalu, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan di kisaran 4,7%-5,5 % pada 2024. Kemudian, akan meningkat ke kisaran 4,8%-5,6% pada 2025.
Sementara pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi 2023 akan mencapai 5,03%, melambat dibanding capaian 2022 sebesar 5,3%. Untuk 2024, pertumbuhan ekonomi diprediksi bangkit di angka 5,2%.
Dekade Terparah
Secara umum, dalam laporan terbaru itu, Bank Dunia memperkirakan perekonomian global akan semakin melambat tahun ini, lebih lambat dibanding dekade-dekade sebelumnya.
Perlambatan ekonomi global yang semakin melambat tahun ini adalah akibat pemulihan pascapandemi yang terbebani oleh tingginya suku bunga, kelesuan perdagangan global, dan ketegangan geopolitik yang akan memberikan dampak paling parah bagi negara-negara berkembang.
Dalam lima tahun hingga tahun 2024, aktivitas global akan mencatat kinerja terlemah sejak awal tahun 1990-an, sebuah “tonggak sejarah buruk” yang akan menyebabkan satu dari empat negara berkembang menjadi lebih miskin dibandingkan sebelum pandemi Covid-19, kata lembaga pemberi pinjaman yang berbasis di Washington tersebut.
“Tanpa koreksi besar-besaran, tahun 2020-an akan menjadi dekade dengan peluang yang terbuang sia-sia,” kata Indermit Gill, Chief Economist World Bank, dalam sebuah pernyataan.
"Lemahnya pertumbuhan jangka pendek ini akan membuat banyak negara termiskin “terlibat utang yang sangat besar dan akses terhadap pangan yang lemah bagi hampir satu dari setiap tiga orang.”
Pertumbuhan investasi per kapita di negara-negara berkembang pada tahun 2023-2024 akan mencapai rata-rata 3,7%, sekitar setengah dari rata-rata 20 tahun sebelumnya, tanpa adanya kebijakan yang dirancang untuk meningkatkan investasi dan memperkuat kebijakan fiskal.
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan global melambat pada tahun 2024 untuk tahun ketiga berturut-turut menjadi 2,4% – turun dari 2,6% tahun lalu dan tidak berubah dari perkiraan bulan Juni – sebelum naik menjadi 2,7% pada tahun 2025, direvisi turun 0,3 poin persentase. Angka tersebut dibandingkan dengan rata-rata 3,1% pada tahun 2010an.
Pertumbuhan global pada tahun 2020-2024 diperkirakan akan mencapai 2,2%, terendah dalam periode lima tahun sejak 2,1% pada tahun 1990-1994, menurut perkiraan Bank Dunia.
(rui/aji)