Ia mengatakan sudah menjadi rahasia umum jika setiap pejabat eselon 1 di Kementerian Keuangan merangkap jabatan sebagai komisaris di sejumlah BUMN mentereng. Fenomena itu tak bisa dilepaskan dari peran Kemenkeu sebagai pengelola kekayaan negara sekaligus wakil pemerintah sebagai pemilik atau pemegang saham mayoritas dari BUMN.
"Kalau merangkap jadi komisaris boleh. Itu tidak menyalahi aturan, yang menyalahi aturan itu dia jadi komisaris di dua perusahaan BUMN itu tidak boleh," katanya.
Pada dasarnya, tidak ada ketentuan yang melarang dengan tegas PNS untuk mempunyai usaha sampingan, baik dalam UU ASN ataupun PP 94/2021. Dahulu, PNS sempat dilarang mempunyai kegiatan wirausaha seperti dagang, menjadi direksi atau komisaris berdasarkan Pasal 3 PP 30/1980. Namun kemudian peraturan tersebut tidak berlaku lagi pasca berlakunya PP 94/2021.
Namun demikian, sebagai aparatur negara, ketika PNS yang mempunyai usaha sampingan tetap harus menjalankan kewajiban sebagaimana diatur di dalam Pasal 23 UU ASN dan Pasal 4 PP 94/2021. Selain itu, juga perlu memperhatikan Kode Etik PNS yang diatur di dalam PP 42/2004.
Dalam menjalankan usaha sampingannya, PNS tersebut tidak boleh melupakan kewajibannya sebagai PNS atau melanggar larangan bagi PNS. Misalnya dalam menjalankan usahanya, terjadi konflik kepentingan dengan jabatan atau melakukan kegiatan yang merugikan negara.
Selain terikat oleh kaidah norma sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, PNS juga terikat oleh asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sebagai contoh, PNS harus memastikan untuk memilih bidang usaha yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya di instansi pemerintahan tempatnya bekerja sesuai dengan hakikat dari asas kepatutan.
Harus Diawasi Ketat
Meskipun tidak ada larangan PNS memiliki usaha sampingan, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan perlu ada pengawasan dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) pusat untuk memeriksa kekayaan para pejabat. Dalam hal pemeriksaan ini ia menyerahkan internal aparatur pengendali untuk menjalankan pekerjaannya.
"Biarkan masing-masing aparatur pengendali internal terutama inspektorat-inspektorat mengecek laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau yang sudah diatur atau diwajibkan untuk menyetor LHKPN itu yang harus diperiksa terlebih dahulu, itu jadi effort tersendiri," tuturnya.
Agus berharap bahwa ada instruksi khusus dari Presiden Joko Widodo kepada seluruh aparatur kementerian lembaga untuk bekerja sama dengan KPK, PPATK, Menpan RB untuk memeriksa unsur harta kekayaan pejabat ASN.
"Agar menyeluruh Presiden harus memberikan instruksi untuk melakukan pengecekan dan penindakan sanksi kalau ada temuan yang terbukti," katanya.
Pemeriksaan dan pengawasan harta kekayaan pegawai secara internal tengah dijalankan oleh Kementerian Keuangan lewat mekanisme pencegahan dan pendeteksian dini (early warning). Staf Ahli Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan saat ini di Kementerian Keuangan memiliki Sistem Internal Laporan Harta Kekayaan (LHK) Kemenkeu yang disebut ALPHA.
Ia mengatakan sistem data ALPHA Kemenkeu terkoneksi dengan sistem data LHKPN di KPK. Data tersebut digunakan untuk melakukan analisis lebih lanjut.
"Jadi tidak perlu ada audit khusus lagi," ujar Yustinus kepada Bloomberg Technoz.
Anomali harta dalam LHKPN pejabat di Kementerian Keuangan itu pun kata dia telah diperiksa Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Sehingga tengah ditelusuri tidak hanya dari besaran hartanya tapi juga terhadap profil pejabatnya.
(evs)