Dirinya memang mengakui bahwa terdapat perubahan era perdagangan, di mana saat ini perdagangan online melalui platform dagang-el (e-commerce) mendominasi. Namun, hal tersebut tidak menjadi permasalahan karena barang yang dibeli tetap merupakan barang dari UMKM.
“Permasalahannya kan cuma tadinya 5 tahun lalu beli di Fajar, sekarang di Amir, tapi Fajar dan Amir itu juga pelaku UMKM. Tadinya belanja dengan offline, sekarang menjadi online. Emang kenapa kalau belinya secara e-commerce? kan tetap UMKM,” ujar Edy.
Justru, saat ini Akumindo sebagai asosiasi UMKM mendorong pelaku UMKM di Indonesia untuk melakukan penyesuaian dengan era perdagangan digital dengan masuk ke e-commerce.
Edy, di lain sisi, sangat menyayangkan bila ada UMKM yang tidak masuk ke e-commerce dan mengeluhkan adanya penurunan omzet. Padahal, kata Edy, seharusnya pelaku usaha bisa mengambil dan memanfaatkan setiap peluang yang ada.
Sementara ketika ditanya tanggapan mengenai pernyataan dari Kemenkop UKM mengenai barang e-commerce yang mayoritas berasal dari luar, Edy mengatakan, hal itu perlu diverifikasi lebih lanjut.
Edy juga mempertanyakan bentuk pengawasan pemerintah, apalagi sejak terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
“Apa benar? kalau kondisi itu berlaku, pemerintah ke mana? pengawasannya kemana? Bea Cukai gimana (harusnya) ada bea masuk dong. Apa benar?,” tandasnya.
Sebelumnya Kemenkop UMKM mencatat terdapat penurunan omzet sebesar 40% hingga 90% yang dirasakan UMKM terutama yang bergerak di bidang konveksi dan sablon menjelang pemilu 2024. Bidang konveksi meliputi penjualan alat peraga kampanye seperti baliho, kemeja/jaket, topi.
Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM, Yulius mengatakan informasi tersebut didapatkan berdasarkan hasil wawancara dengan 15 orang pelaku UMKM di Pasar Tanah Abang dan Pasar Jaya Senen, DKI Jakarta.
(dov/ain)