Logo Bloomberg Technoz

Pada kelompok di atasnya yakni yang memiliki pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta per bulan, proporsi pendapatan untuk konsumsi meningkat 1,2 poin, namun pada saat bersamaan alokasi pendapatan yang ditabungkan turun 1,1 poin. 

Penurunan pengeluaran untuk konsumsi di beberapa kelompok pengeluaran, memberi sinyal bahwa kondisi keuangan sebagian besar masyarakat saat ini terlihat kurang baik. Penghasilan mayoritas orang Indonesia terus menurun terlihat dari Indeks Penghasilan Saat Ini yang melanjutkan penurunan selama empat bulan berturut-turut, terdalam dicatat oleh kelompok berpengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta, yang turun terdalam hingga 4,9 poin. 

Stimulus Kelas Menengah

Penurunan alokasi pendapatan yang dikeluarkan untuk konsumsi juga menjadi indikator tambahan perihal kondisi daya beli masyarakat saat ini. Salah satu indikator daya beli yakni inflasi inti, pada Desember lalu semakin tertekan ke level terendah sejak pandemi mereda pada akhir 2021.

Daya beli yang tertekan menurunkan kemampuan belanja masyarakat di mana hal itu dikhawatirkan bisa membawa pertumbuhan ekonomi tahun ini semakin lambat mengingat konsumsi domestik saat ini menjadi motor utama pertumbuhan pasca berakhirnya booming ekspor komoditas.

Sebagai gambaran, pada kuartal III-2023, sumbangan konsumsi rumah tangga pada Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 52,62%, tumbuh 5,06% year-on-year.

Sejauh ini pemberian bantuan sosial oleh pemerintah baik dalam bentuk bansos sembako maupun uang tunai (BLT) untuk mendukung daya beli, terlihat baru berhasil memberikan kepercayaan pada masyarakat kelas ekonomi bawah.

Presiden Jokowi bagikan bansos BLT di Manado, Sulut (YouTube Setpres)

Survei yang sama memperlihatkan, kelompok penghasilan Rp1 juta-Rp2 juta per bulan sebagai satu-satunya kelompok yang mencatat kenaikan Indeks Keyakinan Konsumen sebesar 4,3 poin ketika empat kelompok pengeluaran lain terkontraksi.

Kelompok ini juga mencatat perbaikan persepsi terhadap kondisi ekonomi saat yang mencatat positif 5,9 poin didukung oleh kenaikan indeks penghasilan dan indeks ketersediaan lapangan kerja.

Hal sebaliknya diperlihatkan oleh kelompok berpendapatan menengah dan atas. Indeks Keyakinan Konsumen kelompok ini turun terdalam akibat penurunan penghasilan dan sulitnya lapangan kerja.

Ini menggemakan lagi urgensi pemberian stimulus lebih luas pada kelas masyarakat menengah yang tak tersentuh bansos. Kelompok menengah menjadi motor utama konsumsi domestik, namun sejauh ini menjadi kelompok yang paling kecil mendapatkan manfaat pembangunan, menurut studi yang pernah dilansir oleh Universitas Indonesia.

Kelompok menengah yang menjadi motor utama ekonomi Indonesia saat ini perlu juga mendapatkan stimulasi agar daya belinya tidak semakin terkikis. Salah satunya adalah dengan menurunkan tarif pajak.

"Pemerintah perlu melakukan relaksasi seperti menurunkan tarif Ppn [Pajak Pertambahan Nilai] dari 11% saat ini kembali jadi 10%, kemudian juga memastikan harga pangan terutama beras bisa lebih rendah," kata Ekonom dan Direktur Eksekutif Center of Law and Economic Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, beberapa waktu lalu.

Lapangan Kerja 

Pendapatan yang terus menurun dirasakan oleh sebagian besar masyarakat tidak terlepas dari situasi ketersediaan lapangan kerja saat ini yang dinilai sempit.

Lapangan kerja yang tidak banyak tersedia di tengah tren kenaikan harga pangan (sembako), membuat kekuatan untuk berbelanja jadi tertekan.

Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja tergerus 0,5 poin menjadi 112,7, menunjukkan penurunan untuk bulan ketiga. Dengan situasi ekonomi yang dinilai masih kurang baik saat ini, ekspektasi terhadap ketersediaan lapangan kerja ke depan juga turun terutama di kelompok ekonomi bawah.

Kelompok dengan pengeluaran Rp1 juta-Rp2,1 juta mencatat penurunan Indeks Ketersediaan Lapangan hingga 6,3 poin, di belakang pengeluaran menengah Rp3,1 juta-Rp4 juta yang turun paling tajam hingga 6,8 poin.

Situasi saat ini memang memperlihatkan tingkat pengangguran di Indonesia belum bisa ditekan seperti di kisaran sebelum prapandemi. Sebagai gambaran, di periode 2018-2019, tingkat pengangguran RI ada di kisaran 5,23%-5,5% dengan proporsi pekerja di sektor informal tidak sampai 60%.

Sementara data terakhir yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik mencatat, tingkat pengangguran sampai Agustus 2023 di angka 5,32%, sudah lebih rendah dibanding tahun sebelumnya di 5,86%. Akan tetapi, bila memasukkan data setengah pengangguran, yaitu mereka yang bekerja di bawah 35 jam per minggu dan saat ini masih mencari pekerjaan tambahan atau pekerjaan lebih layak untuk menutup pendapatan, angkanya jauh lebih besar di banding tahun lalu.

Pada Agustus lalu, total jumlah pengangguran terbuka dan setengah menganggur mencapai 17,2 juta orang, naik dibanding 2022 sebesar 16,99 juta orang. Sektor informal saat ini juga kian mendominasi dengan proporsi mencapai 59,11% pada Agustus 2023.

(rui/aji)

No more pages