Bloomberg Technoz, Jakarta - Produsen bubble tea terkemuka di China termasuk Mixue Bingcheng dan Guming Holdings, berlomba mengajukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) di Bursa Hong Kong. Mixue mengincar dana segar hingga US$1 miliar atau Rp15,5 triliun (setara Rp15.531 per dolar AS).
Mixue Group dan Guming Holdings, jaringan bubble tea terbesar dan kedua terbesar di China berdasarkan jumlah toko pada 2023, telah mengajukan pendaftaran IPO tersebut pada Selasa (2/1/2024).
“Mixue yang memiliki sekitar 36.000 gerai, menargetkan perolehan dana US$500 juta hingga US$1 miliar (sekitar Rp 7,7 triliun-Rp 15,4 triliun) dari IPO di Hong Kong.
Sementara itu, Guming yang memiliki 9.000 gerai, berniat mengumpulkan US$300 juta hingga US$500 juta (Rp 3,85 triliun-Rp 7,7 triliun),” menurut sejumlah media setempat, dikutip Jumat (5/1/2024).
Bubble tea merupakan salah satu bisnis yang berkembang pesat di China. Menurut studi Asosiasi Jaringan Toko & Waralaba China, terdapat 486.000 toko bubble tea di negara tirai bambu tersebut. Asosiasi memperkirakan penjualan tahunan bubble tea pada 2023 tumbuh sebesar 40% dan nilai pasarnya mencapai sekitar 145 miliar yuan atau Rp317,42 triliun. Namun, dengan diferensiasi produk yang rendah, persaingan di antara para pemain sangat ketat. Raksasa industri lainnya, ChaBaiDao, juga mengajukan permohonan IPO di Hong Kong beberapa bulan yang lalu.
"Saya rasa ada desakan besar untuk IPO saat ini, karena secara umum jaringan toko bubble tea ini telah berkembang secara agresif tetapi harus rela membakar uang untuk melakukannya," kata Ben Cavender, Managing Director China Market Research Group. Dia menyebut perusahaan bubble tea yang mampu IPO paling cepat dan mencapai posisi operasi yang stabil akan menjadi pemenang dalam jangka panjang.
Adapun, Mixue telah mengajukan permohonan untuk melantai di Bursa Efek Shenzhen pada 2022 dengan target mengumpulkan dana sekitar 6,5 miliar yuan atau Rp14,23 triliun. Namun, belum ada pengumuman resmi mengenai potensi pencatatan saham Mixue di bursa tersebut. Meskipun bubble tea merupakan minuman dengan harga terjangkau yang populer di kalangan anak muda, sentimen pasar terhadap jaringan bubble tea tidak optimis. Pemulihan ekonomi pasca-Covid di China secara keseluruhan mengecewakan. Selain itu, pengangguran usia muda mencapai 21% pada tahun lalu.
(mfd/dhf)