"Sebaiknya, Jokowi fokus saja mempertahankan daya beli masyarakat dan stabilitas harga yang selama ini menjadi fokus utama pembangunan ekonomi. Jokowi harus mewariskan kondisi ekonomi yang stabil dengan meminimalisasi segala bentuk risiko yang akan dihadapi pemerintah selanjutnya, agar pemerintah berikut bisa leluasa mengembangkan kinerja ekonomi lebih baik seperti pertumbuhan ekonomi, investasi, perdagangan, UMKM, dan SDM," kata Ekonom INDEF Agus Herta Sumarto, Rabu (4/1/2024).
Daya beli masyarakat mengalami tren pelemahan terindikasi dari angka inflasi inti Desember lalu yang terperosok ke level terendah sejak pandemi mereda di angka 1,8%. Pada saat yang sama, inflasi harga makanan, minuman juga tembakau mencapai 6,18% dengan andil 1,6% terhadap inflasi umum. Beras mencatat inflasi tertinggi hingga 17,07% sepanjang 2023 dengan andil 0,53%.
Daya beli yang melemah ketika harga pangan utama semakin mahal perlahan menggerus nilai tabungan masyarakat. Fenomena 'mantab' alias makan tabungan semakin marak di mana masyarakat banyak yang membiayai konsumsinya dengan uang tabungan. Indeks tabungan terutama di kelas pendapatan bawah tergerus lebih dari separuh terutama sejak Lebaran 2023 lalu.
Pertumbuhan dana pihak ketiga bank juga rendah hanya 3,8% menurut data Bank Indonesia pada November 2023, tak sampai setengah pertumbuhan pada November 2022 di angka 9,4%.
Penurunan tabungan masyarakat di kelompok penghasilan bawah banyak digunakan untuk konsumsi barang habis pakai (consumer goods) seperti makanan dan minuman, mencapai 62% dari total belanja. Lalu, untuk belanja barang elektronik 13,6% dan transportasi 7,7%.
"Pola konsumsi masyarakat sudah defensif di mana porsi terbesar itu untuk belanja makanan. Itu ciri ekonomi yang melambat. Kita bisa lihat ada kemungkinan tekanan dari konsumsi," kata Chatib Basri, Ekonom Senior Universitas Indonesia dan mantan Menteri Keuangan, beberapa waktu lalu.
Tekanan daya beli domestik berlangsung di tengah angka pengangguran yang masih tinggi di mana jumlah pengangguran terbuka dan setengah menganggur di Indonesia per Agustus 2023 mencapai 17,2 juta orang, lebih tinggi dibanding tahun 2022 sebesar 16,99 juta orang.
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira menilai, pemerintah sebenarnya masih bisa berbuat lebih banyak agar daya beli masyarakat tidak terus terkikis. "Pemerintah perlu melakukan relaksasi seperti menurunkan tarif PPN [Pajak Pertambahan Nilai] dari 11% saat ini kembali jadi 10%, kemudian juga memastikan harga pangan terutama beras bisa lebih rendah," kata Bhima.
Perlu ada kebijakan lebih lanjut selain penyaluran bantuan sosial bagi kalangan miskin dan rentan, untuk mendukung daya beli masyarakat agar tetap bertahan. Kelompok menengah yang menjadi motor utama ekonomi Indonesia saat ini perlu juga mendapatkan stimulasi agar daya belinya tidak semakin terkikis. Penyaluran bansos juga dinilai hanya sebatas meredam gejolak, belum mampu merangsang permintaan baru.
Risiko Lebih Besar
Menurut pandangan ekonom, pemerintah baru yang terpilih dari hasil Pemilu dan Pilpres tahun ini, akan menghadapi risiko ekonomi yang lebih besar. "Risiko ekonomi yang dihadapi akan lebih besar terutama risiko ekonomi global," kata Agus.
Beberapa risiko ekonomi yang perlu mendapatkan perhatian serius oleh pemerintahan baru nanti, di antaranya adalah risiko fragmentasi dan deglobalisasi perdagangan, risiko inflasi global akibat perang atau krisis geopolitik yang tak berkesudahan, risiko pandemi, juga risiko teknologi terutama digitalisasi ekonomi dan sistem keuangan.
"Risiko-risiko tersebut berpotensi menjadi turbulensi ekonomi. Sistem ekonomi kita harus kuat dan siap menghadapi segala bentuk turbulensi tersebut di samping tentunya pemerintah selanjutnya harus mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yaitu mampu menciptakan decent job [pekerjaan layak] sehingga dapat mendorong pemanfaatan bonus demografif dengan baik," jelas Agus.
Untuk 2024, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi RI bisa mencapai 5,2%. Sementara beberapa lembaga internasional memprediksi pertumbuhan ekonomi masih tetap kuat di kisaran 5% seperti dilansir oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Asian Development Bank (ADB).
Sedangkan The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) bahkan memprediksi lebih tinggi bahwa Indonesia akan tumbuh 5,2% pada 2024, senada dengan perkiraan pemerintah.
Sejauh ini, prediksi World Bank (Bank Dunia) yang lebih pesimistis di mana pada tahun ini Indonesia diperkirakan hanya akan tumbuh 4,9%.
Bank Dunia melihat, salah satu hal utama yang membuat pertumbuhan ekonomi RI tahun ini sulit berkibar adalah karena dampak perekonomian China. China sejauh ini masih berjibaku membangkitkan perekonomian yang menghadapi masalah fundamental mulai pelemahan permintaan, krisis properti dan lain-lain.
(rui/aji)