“Jadi education technology ini beragam jenisnya, ada yang pendidikan dasar menengah dan ada juga yang profesional. Sedangkan Zenius ini kan termasuk lingkup dasar, juga profesional,” Izzudin menambahkan.
Pada segmen menengah ke bawah, Zenius dihadapkan pada rivalitas secara langsung ke pelaku bimbel offline. Sementara Zenius tutup, Izzudin meyakini bahwa pelaku bimbel konvensional dengan metode tatap muka langsung akan lebih bisa mendominasi pasar.
Demi menjaga eksistensi para pelaku kelas online berbayar ini bisa bersinergi dengan bimbel konvensional, dimana itu juga sudah dilakukan oleh Zenius bersama Primagama, ataupun inisiatif datang dari Ruangguru. “Cuma masih belum sukses begitu,” pungkas dia.
Sebelumnta Direktur Indef Esther Sri Astuti juga meyakini bahwa peluang perkembangan bimbel online amat besar. Namun sebagai catatan para pemain di industri ini, lanjut Esther, harus menyajikan strategi terbaik, khususnya dalam meramu biaya bimbel online.
“Mereka harus menajga biaya agar tetap affordable, karena tentu saja bimbingan belajar online berbeda dengan tatap muka, pasti ada yang missing,” jelas dia.
Tantangan berikutnya adalah fakta bahwa tidak semua siswa atau wali siswa memililki alat pendukung, termasuk perangkat gadget. Hal ini harus segera diatasi dan harus melibatkan peran pemerintah.
“Kalo mau intervensi pemerintah itu harus dimasukkan kedalam perkembangan ekonomi digital khususnya perkembangannya ,” kata Esther.
Bisnis bimbel format digital sempat mendapat momentum bagus seiring pembatasan aktivitas luar rumah efek pandemi, namun kini saat post-pandemi situasi menjadi menyulitkan bagi Zenius ataupun platform sejenis.
(fik/wep)