Dengan data surplus yang ada, kata Rusli, Indonesia bisa berhenti mengimpor beras khususnya untuk cadangan beras pemerintah (CBP). Namun, selama ini setidaknya terdapat tiga tantangan yang menghambat Perum Bulog untuk menyerap produksi dalam negeri.
Pertama, kualitas beras petani yang tidak memenuhi persyaratan kualitas dari Perum Bulog, misalnya soal tingkat kadar air, persentase beras yang pecah dan sebagainya. Kedua, biaya angkut yang tidak efisien. Terakhir, harga pembelian pemerintah (HPP) yang lebih rendah dibandingkan harga di pasaran.
Rusli tidak menampik fakta bahwa Indonesia memang membutuhkan impor beras untuk CBP pada 2023 ketika terdapat fenomena iklim El-Nino. Saat itu, banyak daerah di Indonesia yang tidak bisa menanam padi yang pastinya akan mempengaruhi terhadap produksi panen raya di tahun ini.
Apalagi, saat itu Bulog juga semakin kesulitan untuk menyerap produksi dalam negeri karena banyak petani yang menahan untuk menjual beras atau gabah untuk mengantisipasi ketidakpastian akibat El-Nino.
“Itu pilihan sulit untuk tidak impor, saya paham mengapa pemerintah memutuskan untuk impor beras (pada 2023),” ujar Rusli.
Rusli mengingatkan Indonesia bisa berhenti untuk impor beras untuk masyarakat secara umum apalagi bila meningkatkan serapan produksi dalam negeri untuk CBP. Dia tidak mengharapkan Indonesia bisa 100% untuk berhenti impor beras karena tidak bisa dipungkiri terdapat beberapa beras khusus yang diminati oleh konsumen di Indonesia. Namun, pemerintah tentu perlu melakukan berbagai upaya untuk menyerap produksi dalam negeri dan secara perlahan meninggalkan impor beras untuk CBP.
Sementara itu, di sisi laun Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan produksi beras sebesar 32 juta ton pada 2024.
“32 juta ton (untuk target produksi beras pada 2024),” ujar Plt. Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Prihasto Setyanto kepada Bloomberg Technoz.
Optimalisasi Produktivitas Petani
Dikonfirmasi secara terpisah, Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian mengatakan Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas petani dan produksi beras dalam negeri. Namun, selama ini belum dioptimalkan dengan baik.
“Jika yang dimaksud tidak bisa lepas dari impor beras untuk jenis beras yang biasa kita konsumsi itu keliru, karena saat ini produktivitas beras kita belum dioptimalkan. Jadi masih bisa digenjot dengan intensifikasi, sehingga produksi akan meningkat dan kita tidak perlu impor beras,” ujar Eliza.
“Kecuali jika memang beras-beras varietas lain seperti beras basmati untuk menu makanan khas Timur Tengah itu memang kita perlu impor,” lanjutnya.
Apalagi, selama ini impor yang dilakukan oleh Indonesia kurang dari 10%. Sementara 90% beras di Indonesia masih dipenuhi produksi petani dalam negeri. Dengan demikian, Indonesia masih memiliki peluang untuk meningkatkan produksi untuk mengurangi impor.
Catatan untuk Masa Depan Pangan Indonesia
Di lain sisi, Rusli juga memberikan sejumlah catatan kepada pemerintah Indonesia ihwal pangan Indonesia dalam jangka panjang. Pertama, memastikan bahwa Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap beras.
Menurut Rusli, terdapat sumber karbohidrat lainnya yang berpotensi untuk menggantikan beras di Indonesia, seperti sagu, jagung, singkong dan sorgum. Hal ini perlu dilakukan agar Indonesia tidak perlu panik ketika terdapat fenomena iklim seperti El-Nino yang dapat menghambat produksi beras.
Kedua, pemerintah dinilai perlu membabat seluruh komponen lain yang berada di luar biaya transportasi yang dapat meningkatkan harga beras dan untuk memastikan agar distribusi beras dapat berjalan dengan lancar.
“Indonesia ada beberapa pulau yang kekurangan beras dan surplus beras. Bagaimana agar distribusi beras lancar, itu yang perlu didukung pemerintah. Entah itu memperbaiki jalan, mengurangi pungutan liar (pungli), atau apapun yang bisa dilakukan untuk mencegah mahalnya ongkos transportasi,” ujar Rusli.
Ketiga, melakukan research and development untuk menghasilkan beras atau bibit yang tahan terhadap hama dan perubahan iklim. Alasannya, kata Rusli, perubahan iklim dan hama ke depannya semakin tidak terduga.
Terakhir, memastikan tidak adanya degradasi lahan melalui konversi lahan dari pertanian ke nonpertanian. Menurut Rusli, hal ini bisa dilakukan dengan memberikan insentif ke petani.
“Selama ini ada lahan sawah abadi atau lahan abadi pertanian tapi pencairan tidak dibarengi insentif pemerintah pada petani agar petani bisa tetap menanam komoditas mereka di lahan yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai lahan abadi,” pungkasnya.
(dov/ain)