Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Kebijakan pemberlakuan kembali bea masuk batu bara oleh China ditengarai hanya akan berdampak memukul terhadap Rusia, tetapi tidak demikian halnya dengan Indonesia dan Australia.

Analis komoditas sekaligus pendiri Traderindo Wahyu Tri Laksono mengatakan pada saat bea masuk batu bara dihapuskan pada Mei 2022, China memang sedang mengincar kepastian suplai energi di tengah kekhawatiran krisis akibat dampak konflik geopolitik Rusia-Ukraina.

“Akibatnya, impor batu bara China melambung ke rekor tertinggi [sepanjang masa], dan yang menikmati [lonjakan permintaan batu bara oleh China] adalah Rusia,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (3/1/2024).

Kini, Pemerintah China memutuskan untuk memberlakukan lagi kebijakan bea masuk batu bara demi melindungi penambang dalam negeri yang sedang kebanjiran stok akibat output domestik yang juga memecahkan rekor.

Inventori Batu Bara China (Sumber: Bloomberg Intelligence)


Wahyu mengatakan Rusia – sebagai pemasok batu bara nomor dua terbesar ke China – memiliki tujuan jangka panjang untuk menjaga ekspor tahunan di atas 100 juta ton. Namun, akibat diberlakukannya hambatan tarif itu, Negeri Beruang Merah akan kesulitan untuk mempertahankan volume ekspor batu baranya ke Negeri Panda pada 2024.  

“Tidak ada negara lain yang bisa menerima pasokan [batu bara Rusia] sebesar [China]. Penjualan batu bara bulanan Rusia ke China telah menurun setelah mencapai puncaknya di level 10 juta ton pada Juli 2023, karena pengirimannya menjadi kurang kompetitif dari negara lain. Dinamika ini hanya akan memburuk saat tarif impor diberlakukan lagi,” terangnya.

Sekadar catatan, China mulai awal tahun ini memberlakukan lagi bea masuk batu bara bagi negara-negara yang dipreferensikan yaitu Rusia, Mongolia, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat (AS). Masing-masing sebesar 6% untuk batu bara termal dan 3% untuk batu bara kokas.

Batu bara dari negara lain yang tidak menikmati status preferensi akan dikenakan tarif sebesar 20% oleh China.

Ekspor batu bara termal diprediksi mencapai rekor puncaknya pada 2023, sebelum merosot pada tahun-tahun berikutnya./dok. IEA


Indonesia Terbebas

Lebih lanjut, Wahyu mengatakan posisi Indonesia sedikit diuntungkan ketimbang Rusia lantaran terbebas dari jerat bea masuk batu bara China berkat adanya pakta perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) dengan Asean. Australia juga menyecap keberuntungan serupa.

Permasalahannya, saat ini China sudah memiliki pasok batu bara termal - jenis yang banyak diekspor Indonesia - yang sangat berlimpah. Sebaliknya, stok batu bara kokas - jenis yang diekspor Australia - untuk kebutuhan industri baja masih relatif kurang, sehingga negara tersebut membatasi tarif impor untuk batu bara metalurgi. 

“RI bisa saja mendapat momentum menaikkan ekspor batu bara [karena dibebaskan dari bea masuk China]. Namun, esensi kebijakan itu adalah untuk membatasi impor, karena pasokan domestik sudah overload. Jadi, potensi impor batu bara termal China dari Indonesia sepertinya akan terbatasi juga nantinya. Demand dari China melemah, atau memang sengaja dilemahkan sementara,” tuturnya.

Lebih lanjut, Wahyu menggarisbawahi, kondisi pasar komoditas energi memang tengah melembam; di mana selama 5 tahun (Januari 2019—Desember 2023) bergerak dalam tren bearish, 1 tahun (2023) anjlok, dan 3 bulan (Oktober—Desember 2023) rebound konsolidatif.

“Ini jelas secara teknikal oversold, didukung oleh data mingguan terbaru dari data impor batu bara China. [...] China ini major issue jika bicara batu bara. Bagi China, batu bara adalah sangat strategis, vital,” ujarnya. 

(wdh)

No more pages