Begitu juga sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi yang rendah akan menciptakan inflasi yang juga rendah. Inflasi rendah juga bisa berarti tingkat pengangguran yang tinggi.
Alhasil, bukan hal yang mengagetkan bila dengan capaian inflasi yang rendah itu, pertumbuhan ekonomi selama satu dasawarsa terakhir juga hanya di kisaran 5%. Dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi RI rata-rata hanya di kisaran 4,14% selama rentang November 2014 -bulan pertama Jokowi mulai memerintah penuh- hingga kuartal III-2023 lalu.
Bandingkan dengan era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mencatat rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,79% selama 10 tahun berkuasa, sementara inflasi jauh lebih tinggi mencapai 7,27% selama periode yang sama.
Menurut ekonom INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Agus Herta Sumarto dalam publikasinya pada 2020 lalu, rendahnya inflasi selama era Jokowi tidak terlepas dari arah pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada pemerataan pendapatan dan tingkat kesejahteraan.
Berbeda dengan era SBY di mana perekonomian diarahkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi optimal meski inflasi jadi tinggi. Pemerintahan SBY berupaya mengejar margin positif dari selisih antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi dengan harapan pertumbuhan bisa mendorong kesejahteraan masyarakat.
"Kesejahteraan yang ditimbulkan dari pertumbuhan ekonomi diharapkan masih lebih besar dari terkikisnya daya beli akibat inflasi," jelas Agus, dikutip Rabu (3/1/2024).
Mana 'mazhab' yang lebih baik, akan bergantung pada data lanjutan. Ekonom menggarisbawahi, inflasi yang rendah memang bisa menjaga daya beli masyarakat.
Namun, apabila selisih antara bertambahnya kesejahteraan karena pertumbuhan ekonomi lebih kecil dibandingkan berkurangnya daya beli akibat inflasi, "Maka bisa dipastikan secara agregat, tingkat kesejahteraan masyarakat akan berkurang," kata Agus.
Menjaga daya beli masyarakat dengan menahan laju inflasi serendah mungkin akhirnya menjadi hal yang sia-sia apabila pada saat yang sama produktivitas ekonomi juga menurun. Inflasi yang rendah sehingga menyeret pertumbuhan ikut rendah juga jadi mubazir bila tujuan pemerataan kesejahteraan tidak tercapai.
Salah satu indikator yang bisa dilihat adalah kinerja neraca dagang. Neraca dagang RI memang mencetak surplus sangat panjang, hingga 43 bulan beruntun sejauh ini.
Akan tetapi, surplus yang terjadi lebih karena kemerosotan kinerja impor buntut dari keterpurukan kinerja ekspor yang terdampak kelesuan perekonomian global.
"Inflasi rendah tetapi [terjadi] surplus perdagangan sebenarnya bukan berita baik karena surplus terjadi karena penurunan impor lebih dalam ketimbang penurunan ekspor sehingga sebenarnya bukan surplus yang berkualitas," kata Bhima Yudistira, Ekonom dan Direktur Eksekutif CELIOS (Center of Law and Economic Studies).
Ekspor RI turun dalam sembilan bulan berturut-turut sejak Maret hingga November 2023. Pada saat yang sama, impor terkontraksi sejak Februari-Oktober 2023.
Pada periode Januari-November 2023, impor bahan baku/penolong turun 11,67% year-on-year jadi US$19,46 miliar, padahal impor kelompok barang ini mendominasi dengan nilai mencapai 72,67% dari total impor Indonesia.
Penurunan impor bahan baku/penolong bisa dibaca sebagai indikasi perlambatan industri manufaktur. Ini juga yang menjelaskan mengapa pertumbuhan kredit perbankan tahun ini terbilang rendah dengan tren korporasi masih menahan ekspansi akibat kelesuan permintaan domestik dan ekspor sehingga kebutuhan pembiayaan mereka juga rendah.
Lapangan Kerja dan Pemerataan
Roda perekonomian yang gagal digenjot kencang pada akhirnya sulit memicu pertumbuhan lapangan kerja yang memadai. Sejauh ini perbaikan lapangan kerja di Indonesia tidak terlalu ¯signifikan.
Data terakhir tingkat pengangguran RI memang turun yakni jadi 5,32% pada Agustus 2023, lebih rendah dibanding Agustus 2022 di angka 5,86%. Namun, perlu digarisbawahi, angka tersebut hanya memotret jumlah pengangguran terbuka.
Sementara bila memasukkan data setengah pengangguran, yaitu mereka yang bekerja di bawah 35 jam per minggu dan saat ini masih mencari pekerjaan tambahan atau pekerjaan lebih layak untuk menutup pendapatan, angkanya jauh lebih besar di banding tahun lalu.
Pada Agustus lalu, total jumlah pengangguran terbuka dan setengah menganggur mencapai 17,2 juta orang, naik dibanding 2022 sebesar 16,99 juta orang. Sektor informal juga kian mendominasi dengan proporsi mencapai 59,11% pada Agustus 2023.
Bila dibandingkan level prapandemi, tingkat pengangguran saat ini juga masih lebih tinggi. Pada 2018-2019, tingkat pengangguran di Indonesia berkisar 5,23%-5,5% dengan proporsi pekerja sektor informal 55%-56%.
Manfaat pembangunan juga tidak merata dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Kajian yang dilansir oleh Teguh Dartanto dan Canyon K. Can dari LPEM Universitas Indonesia, menyebut, pertumbuhan ekonomi pada periode pertama masih inklusif.
"Kelas menengah menikmati pertumbuhan ekonomi lebih besar dibandingkan dengan kelompok termiskin dan terkaya sehingga Gini Ratio bisa diturunkan jadi 0,380 pada September 2019," catat peneliti UI.
Akan tetapi, pada periode kedua era Jokowi, pertumbuhan ekonomi tidak lagi inklusif di mana manfaat dari kebijakan atau program pemerintah terfokus hanya pada 20% kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas. Pada saat yang sama, kelompok kelas menengah yang proporsinya mencapai 40%-80% dilupakan, demikian ditulis oleh peneliti. Bahkan, kelompok 60%-80% mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.
Dampaknya, tingkat ketimpangan melebar dengan Gini Ratio pada September 2022 naik jadi 0,381 dan semakin tinggi pada Maret 2023 di angka 0,388.
Tekanan Daya Beli
Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) yang rendah saat ini berlangsung di tengah lonjakan harga beras di tingkat pengecer yang kenaikannya telah mencapai 17,07% pada Desember lalu.
Inflasi bahan makanan pada Desember mencapai 6,37% secara tahunan di mana andilnya pada inflasi akhir tahun mencapai 1,17%. "Ada anomali di mana sepanjang tahun ini beras sebagai penyumbang inflasi terbesar naik tinggi tapi inflasi IHK tetap rendah. Faktor [penyebab] bisa berasal dari harga energi BBM bersubsidi yang ditahan dan penurunan harga BBM nonsubsidi, juga bisa dari sisi permintaan yang rendah terindikasi dari inflasi inti yang rendah," kata Bhima.
Pada Desember, inflasi inti Indonesia tercatat di angka 1,8% year-on-year, terendah sejak akhir 2021 di mana angka itu juga di bawah kisaran target BI di angka 2%-4%. Terakhir level inflasi inti terendah adalah pada Desember 2021 di angka 1,56%.
"Indikator inflasi inti yang rendah ditopang oleh fenomena kelas menengah yang makan tabungan untuk memenuhi kebutuhan pokok serta besarnya jumlah masyarakat yang bergantung pada pinjol," imbuh analis.
Pada November lalu, DPK hanya tumbuh 3,8% menurut laporan BI. Lebih rendah dibanding Oktober 3,9% dan jauh lebih kecil bila dibanding November 2022 yang mencapai 9,4%.
Nilai dana masyarakat di produk tabungan bank hanya tumbuh 2,5%, untuk nasabah perorangan. Sementara untuk produk deposito, secara keseluruhan juga melambat dengan pertumbuhan hanya 5,2% bulan lalu, lebih rendah dibanding 6,9% bulan sebelumnya.
Jadi, inflasi yang rendah tidak selalu menjadi kabar baik bagi perekonomian. Inflasi yang rendah tanpa diikuti peningkatan produktivitas perekonomian justru bisa menyeret penurunan daya beli masyarakat dan pada akhirnya menurunkan kesejahteraan.
-- dengan asistensi Mis Fransiska Dewi.
(rui/aji)