Dana hasil penerbitan surat utang itu, menurut pengumuman yang dimuat di Bursa Efek Indonesia (BEI), ditujukan untuk membayar pinjaman bank.
Selain Protelindo, di daftar masih cukup banyak korporasi yang akan merilis obligasi dalam waktu dekat. Di antaranya, PT Merdeka Copper Gold, PT Tunas Baru Lampung dan PT Provident Investasi Bersama, ketiga perusahaan itu telah mengumumkan rencana emisi obligasi senilai total Rp 3,75 triliun pada bulan ini.
Gairah korporasi menerbitkan surat utang belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari sentimen arah bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang memberikan petunjuk bahwa tidak akan ada kenaikan bunga lagi hingga akhir tahun nanti menyusul data inflasi yang relatif terkendali.
Inflasi pada Februari sedikit naik ke 5,47% sesuai ekspektasi dan siklus musiman, akan tetapi dikejutkan dengan penurunan tingkat inflasi inti yang lebih rendah dari perkiraan pasar ke kisaran 3,09%.
Lonjakan inflasi yang lebih tinggi diantisipasi terjadi pada musim perayaan puasa dan lebaran di mana terbuka kemungkinan inflasi tahunan melesat ke 6%. Setelah itu, laju inflasi domestik diprediksi akan terus melandai sehingga memberi alasan bagi bank sentral untuk mempertahankan bunga acuan di level 5,75%. “Emiten memanfaatkannya untuk mulai mencari pembiayaan dari pasar modal,” ujar Angky Hendra, Manajer Investasi Batavia Prosperindo Aset Manajemen.
Yield Terus Naik
Tekanan terhadap aset rupiah selama bulan lalu terbilang besar. Terindikasi dari pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat terperosok ke level Rp 15.313/US$, melemah berturut-turut dalam empat pekan terakhir. Rupiah tertekan sentimen bunga The Federal Reserves yang terus melambungkan dolar AS di seluruh dunia.
Tingkat yield Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun kembali tertekan ke kisaran 6,946% pada Senin (6/3/2023). Sejak awal tahun, rata-rata pergerakan yield SUN 10 tahun berada di kisaran 6,777% dengan posisi tertinggi pada 3 Januari lalu sebesar 7,051%.
Adapun untuk SUN tenor 2 tahun naik ke posisi 6,363%, lalu SUN tenor 3 tahun turun tipis ke 6,071% dan SUN tenor 5 tahun ke posisi 6,457% pada hari pertama awal pekan ini.
Sedang untuk obligasi negara berdenominasi dolar AS, semua tenor mencatat kenaikan yield dengan kenaikan tertinggi dialami oleh SBN dolar AS tenor 10 tahun yang naik ke posisi 5,099%.
Kenaikan yield mengindikasikan ada tekanan jual di pasar obligasi yang menurunkan harga. Pergerakan harga berkebalikan dengan yield. Semakin tinggi yield obligasi berarti harga obligasi semakin jatuh karena banyak investor yang melepasnya.
Indeks obligasi korporasi yaitu INDOBeX Corporate Effective Yield seperti terpampang dalam data Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) atau Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) terpantau berada di level 7,4215, naik dari posisi sebelumnya. Bila diukur sejak awal tahun, kenaikannya sudah mencapai 2,04%, dan secara tahunan telah naik 14,28%.
Begitu juga INDOBeX Corporate Gross Yield yang naik tipis ke posisi 7,6103. Secara tahunan indeks telah naik 9,45% dan sejak awal tahun mencatat pertumbuhan 1,1%. Untuk obligasi korporasi tenor 5 tahun peringkat AAA yield-nya kini di posisi 7,19%. Untuk tenor 10 tahun tingkat yield sudah di posisi 7,76%, naik cukup banyak dibandingkan posisi akhir Februari yang baru di kisaran 7,67%.
Risiko Rupiah
Bila tekanan terhadap rupiah terus berlangsung dan membuat yield obligasi enggan turun kembali, itu bisa menjadi kabar buruk bagi korporasi yang hendak mencari pembiayaan melalui emisi obligasi di pasar modal.
Secara sederhana, jika rupiah terus melemah akibat tekanan pasar, nilai obligasi dalam mata rupiah menjadi turun. Akibatnya investor akan meminta imbal hasil yang lebih tinggi dari surat utang yang dipegangnya. Bagi perusahaan hal ini berarti ongkos pembiayaan obligasi yang lebih mahal.
Rupiah belum bisa tertolong dari tekanan eksternal yang terus menekannya. Beberapa ikhtiar bank sentral seperti menggelar lelang TD valas Devisa Hasil Ekspor juga belum menunjukkan hasil menggembirakan terlihat dari rendahnya nilai penawaran yang masuk dalam gelar perdana pekan lalu.
Di pasar obligasi, investor asing mulai menunjukkan penurunan minat. Indikasinya, selama Februari 2023, investor asing tercatat menjual kepemilikan surat utang mereka senilai US$498 juta atau setara Rp7,6 triliun, memakai asumsi kurs JISDOR BI Rp15.278/US$. Itu adalah nilai arus keluar dana asing pertama sejak Oktober 2022, menyusul terus menguatnya sentimen buruk dari spekulasi bunga The Fed.
Para analis memprediksi arus dana keluar dari pasar obligasi domestik akan terus berlangsung. Minat pemodal asing akan melemah dalam jangka pendek, terkecuali jika sentimen pasar berkembang membaik dan/atau saat valuasi obligasi Pemerintah Indonesia menjadi lebih murah, demikian tulis Strategist dari Barclays Ashish Agrawal dan Audrey Ong dalam catatan seperti dikutip Bloomberg News, Kamis (02/03/2023).
“Aliran [modal] masuk tidak mungkin kembali ke tingkat yang berarti sampai The Fed bergerak di antaranya,” tulis analis.
(rui/roy)